Senin, 08 Agustus 2011

Hanya Setipis Kulit Bawang



http://fc02.deviantart.net/fs32/f/2008/194/1/9/thanks_god_by_tahataha78.jpg
"Masih Alhamdulillah, aku gak cacat, masih bisa berjalan dengan dua kakiku, masih bisa menulis dan bekerja dengan dua tanganku ini,"

Itu jawabanku saat ada beberapa teman meledek salah satu bagian tubuhku. Tentu saja dia langsung terdiam, dan cepat-cepat meminta maaf padaku. Oh, seharusnya kau tidak perlu minta maaf padaku teman, tapi minta ampunlah pada Tuhanku dan Tuhanmu, karena apa yang kau ucapkan, mencela ciptaan-Nya, pada dasarnya juga adalah mencela penciptanya :)

Ledekan-ledekan semacam itu bukan sekali dua kali kuterima, sejak aku kecil, hingga sekarang saat sudah menjadi ibu-ibu berputra empat. Tapi, dasarnya aku cuek, ku 'skakmat'  ledekan itu dengan jawaban di atas, dan biasanya ledekan langsung berhenti.

Terkadang kita lupa, terlalu memperbincangkan dan mendewakan soal fisik. Tengoklah iklan di samping wall kita di FB ini, banyak sekali iklan-iklan yang bertebaran menawarkan perbaikan fisik: ingin kulit yang mulus, betis yang kecil dan indah, pinggang yang ramping, langsing tanpa diet berat, dan seterusnya... Hmmm.

Meski diakui, memang fitrah, jika manusia suka melihat perempuan yang cantik, yang bening, atau laki-laki yang ganteng dan gagah. Bahkan fitrah ini diakui-Nya , "Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang ternak, dan sawah ladang..." (QS Ali-Imrann 4)”

Tentu bahagia punya istri cantik rupawan. Tentu senang punya anak-anak yang sehat dan cakap. Tapi, ujung ayat itu justru mengingatkan tentang bekalan yang perlu dipersiapkan untuk menuju kebahagiaan hakiki, surga  "... Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik (surga)."

Artinya, kecantikan atau ketampanan tak berarti apa-apa jika tidak menjadikan seseorang menggunakannya sebagai wasilah beramal menuju surga. Apalagi jika justru kecantikan/ketampanan itu justru menjadi alat menyombongkan diri, karena merasa cantik, ganteng.

"Saya dong ganteng, kulitnya putih, gak kayak kamu, ih... item"
"Saya dong cantik, hidungku mancung, gak ancur kayak kamu"

Hmm, sadarkah bagaimana rupa wajah yang cantik atau ganteng itu 20 atau 30 tahun lagi? Kulit yang halus putih akan keriput dan renta. Mata yang indah gemerlap akan merabun. Tubuh dan perawakan yang indah akan terbungkuk-bungkuk. Hingga cantik atau ganteng, menjadi tak ada bedanya lagi dengan yang buruk rupa.

Apalagi jika 40-50 tahun lagi, saat wajah-wajah dan seluruh tubuh ini ditanam di dalam tanah, sama-sama hanya akan tinggal tulang, lalu dimakan renik-renik, lalu benar-benar bersatu dan menjadi tanah.

Sungguh, keindahan fisik itu hanya sebatas kulit bawang. Tapi amal sholeh-lah yang akan mengekalkan keberadaan seseorang, hingga jika dia meninggal pun, namanya akan tetap dikenang sebagai pejuang kebaikan.

Maka, sungguh indah ajaran yang pernah kuterima dari salah satu ustadz di Ma'had Al-Hikmah dulu,

"Jika kau bertermu dengan orang yang cantik atau ganteng, cukuplah kau ucapkan 'Subhanallahu kholaqoka'  (Maha suci Allah yang telah mencipatakanMu)"

Ya. Karena sesungguhnya yang hebat bukan dia yang telah tampil cantik memukau atau gagah menawan, tapi yang hebat adalah penciptanya. Bisa apa manusia, bila penciptanya berkehendak tiba-tiba dia mengalami kecelakaan tragis, atau kebakaran, hingga wajah yang cantik atau gagah itu berubah menjadi muka yang menyeramkan dan dihindari orang?

Maka, ucapan tasbih tadi mengajarkan kita pada dua hal. Pertama, kita memuji pencipta manusia yang telah benar-benar paripurna dalam ciptaan-Nya, sedang manusia sesungguhnya tidak layak untuk mendapat pujian. Kedua, untuk menghindarkan seseorang yang dikaruniai wajah cantik atau badan bagus itu dari terjerumus ke dalam 'ujub (sombong) akibat banyaknya orang yang memujinya, dan bisa jadi dia malah kufur nikmat.

Aku lantas teringat dengan salah satu bahasan di mata kuliah yang kuajarkan, tentang anak-anak down syndrome. Anak yang wajahnya sering disebut tipe mongoloid itu, di belahan dunia mana pun tipe wajahnya sama. Dan, saat melihat mereka, mungkin kita akan mengelus dada, cepat-cepat berdoa, berharap jangan sampai salah satu keturunan kita ditakdirkan menjadi anak yang down syndrome. Anak yang terbelakang mentalnya, yang untuk mengurus dirinya sendiri pun kadang masih harus banyak dibantu.

Tapi tahukah Anda, penelitian longitudinal di berbagai belahan dunia menunjukkan, anak-anak down syndrome lah yang paling sayang pada orang tuanya, yang paling lembut hatinya. Jika salah satu orang tua sakit, mungkin anak-anak yang normal akan bersimpati dengan menanyakan kabar kita, dan kadang melongok keadaan kita yang terbaring lemah di kamar, lalu kembali bermain sebagaimana halnya anak-anak. Tapi, anak down syndrome, dengan segala kelembutan hatinya, akan menunggui kita 24 jam, tak beranjak sedikit pun dari kamar kita, jika tidak karena dibujuk-bujuk untuk sejenak istirahat.  Lihatlah, di balik keterbatasan fisik dan mentalnya, mereka memiliki hati yang luar biasa indahnya. Sungguh,  Allah Maha Adil dan sebaik-baik Pencipta.

Lalu, masihkah aku menyesali diciptakan dengan wajah yang biasa-biasa saja?
Masihkah kau bangga dengan ketampanan wajahmu? Dengan kecantikanmu?
Astaghfirullah...

Renungan menjelang senja, 5 Juli 201

Mukti A. Farid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar