Amplop itu menyentakkan saya,
“ Bener nieh, sekarang udah ga perlu lagi..?”
Dengan berbinar wajah gadis didepan saya yang menyodorkan amplop berkata,
” Iya, sekarang udah punya uang Teh...”
” Alhamdulillah...gitu donk senyum, jangan terlalu sering nangis ya” sambil saya menjewel pipinya.
***
Gadis itu terpaut hampir 7 tahun dengan saya. Suatu hari ia pernah membuat saya menangis penuh rasa penyesalan. Penyebabnya tidak lain karena saya merasa bahwa saya tidak peduli padanya, tidak menunaikan hak ukhuwah padanya, hanya bisa menuntut, mengarahkan, dan mentransfer materi tarbiyah. Materi, materi, materi, sungguh saya merasa sangat materialistis.
Itu perasaan saya, mudah-mudahan tidak terlalu parah pada kenyataannya.
Gadis itu adalah seorang adik yang Allah pertemukan di jalan da’wah. Cinta kami bersua di tiap ujung pekan, di lingkaran kehidupan.
Gadis itu, salah satu adik yang Allah amanahkan pada saya, berderet bersama adik laki-laki senasab saya. Nama adik itu, juga adik laki-laki saya, dan adik-adik perempuan lainnya yang Allah pertemukan di jalan da’wah, sering saya sebutkan satu persatu diujung malam, kadang hingga menangis sesenggukan pada Allah saya meminta agar kakak beradik ini—yang Allah sering pertemukan di dunia-- Allah tetap pertemukan jua di surgaNya kelak. Agar senantiasa Allah beri keberkahan, do’a yang terlantun mengalun sepenuh jiwa. Ya, itulah model berdo’a jika saya sedang insaf, sedang sadar sepenuh hati bahwa mereka adalah amanah da’wah, yang harus setia dibina dengan penuh gelora cinta. Tapiiii, jika hati sedang tersapa lelah, biasanya yang terlantun hanya do’a sapu jagat yang pendek, terburu-buru dan mungkin tak berjiwa...” Ya Allah berikan mereka semua kebaikan” beres,selesai.– Ah, moga tetap Allah terima do’a itu, walau diucap dari lisan dan hati yang lalai-
Kembali pada gadis itu, saya pernah kehilangan dia 2 sampai 3 kali di ujung pekan, entah kemana dia, tak ada rimbanya, tak ada kabar, tak ada pesan, HP yang berulang ditelponpun tak ujung ada jawaban. Hingga akhirnya saya menelpon rumahnya (setelah era HP mania, memang kita kadang baru teringat bahwa adik-adik kita bisa juga dilacak lewat telepon rumah). Yang mengangkat ibu gadis itu, setelah bertukar kabar sekedarnya dengan sang Ibu, gagang telepon dipindah pada sang gadis, tak ada suara.
Saya bertanya kabarnya, tak ada jawaban.
Saya bertanya kemana saja kemarin ? Tak ada juga suara.
”Apakah engkau sakit ?” barulah ada desahan nafas.
Dan samar terdengar sebuah suara serak di ujung sana
” Saya kemaleman Teh, jelang maghrib baru sampai di jalan A, saya berpikir lingkaran kita mungkin sudah selesai ketika saya sampai, maka saya pun kembali pulang ”
Saya masih mencerna, ”Kok bisa kesorean, memang jalan ya dari rumah ?”
Tanpa tambahan apa-apa dia menjawab, ”Iyaa..”
Degg...degup jantung seolah mau berhenti, terasa ada tetesan di hati.
”Sampai di rumah jam berapa ?” Saya bertanya lagi sambil menahan gejolak emosi
” Jam delapan ”
Robbi...saya tercenung, adik saya itu ternyata tidak punya ongkos untuk bergabung di lingkaran kami, dia terpaksa jalan kaki dari rumahnya, memakan waktu tiga jam bulak-balik. Pantas saja kesorean.
Di ujung gagang telepon, kami berdua terdiam. Saya sebagai kakak memarahi diri saya sendiri, sedang di ujung sana saya meyakini ada linangan air mata dan hati yang tersedu.
” Maaf ya Teh, jadi engga bisa datang...” suara seraknya muncul lagi
Saya sudah tak sanggup berkata, hanya mampu memarahi diri saya dan menjanjikan bahwa besok pagi saya akan datang ke kampusnya untuk memeluknya erat-erat. Memeluknya dan meminta maaf.
Esoknya ceritapun mengalir
Membuat basah hati saya.
Gadis itu, adik saya dalam da’wah tidak sampai menangis
Air matanya ditahan agar tak jatuh, tapi bening kaca dimatanya menunjukkan bahwa bebannya sungguh,sungguh sedang berat.
Saya hanya mampu meberikan bahu saya
Membiarkan dia menyandarkan berbagai masalahnya
Seraya menggenggam tangannya
Meyakinkannya bahwa saya ini kakaknya, kapanpun dia meminta tolong, pasti akan terulur tangan saya.
Sementara di hati saya,
Saya tak henti beristighfar, meminta maaf pada Allah karena saya telah lalai, lalai menunaikan amanah da’wah. Sambil merenungi diri, kakak macam apa saya.
Kakak macam apa yang membiarkan adiknya tak punya ongkos hingga harus berjalan belasan kilo demi pertemuan kami di ujung pekan ? Bahkan akhirnya tak bisa hadir di pertemuan.
Kakak macam apa yang membiarkan adiknya menyusuri jalan raya, beralas kaki, berhujan kuyup menuju rumahnya di gulitanya langit ba’da menunaikan amanah untuk beraksi di bundaran HI ?
Sementara saya – sang kakak melaju kencang dengan kuda beroda dua
Atau bersender santai sambil baca buku di angkutan umum sambil disepoi angin Bogor...
Duhai, betapa tak berhatinya saya
Dik, maafkan kakak ya.
Saya memandang wajahnya,
Sambil berbisik saya berkata sungguh-sungguh,
”Allah sudah menjanjikan pada kita dua kemudahan dibalik kesulitan”
”Kita sudah pernah melewati berbagai cobaan, yang ketika cobaan itu datang kita mengira bahwa kita tak akan sanggup melaluinya, tapi dengan pertolongan Allah akhirnya kita mampu melalui cobaan-cobaan itu”
”Dik, yakinlah bahwa cobaan ini sudah ketentuanNya, agar engkau semakin kuat dan dewasa. Agar hanya Allah yang bertahta di singgasana jiwa”
Saya berbicara padanya seolah saya berbicara pada diri sendiri. Menasehati relung hati saya sendiri. Siapakah didunia ini yang tak pernah disapa cobaan ? Para Nabilah yang mendapat cobaan terberat dibanding cobaan umat manusia yang lain. Hingga cobaannya menggenapi keajaiban iman para anbiya sampai mampu menerangi seluruh pelosok dunia. Sedang cobaan untuk saya mungkin hanya ecek-ecek, seperti sebutir debu jalanan. Namun tetap saja... saat cobaan itu datang, kadang saya mengira saya tak kan mampu melewatinya.
Ehhm itu dulu lho...betul itu dulu, kisah ketika saya belum disentuh hangatnya tarbiyah, sekarang InsyaAllah, diluasnya kolam tarbiyah saya berusaha menghadirkan jiwa yang segar ketika cobaan mengetuk pintu kehidupan saya.
Sebagian cobaan yang mampir dikehidupan manusia mungkin diketahui orang lain,dibahas dan dicarikan solusi, namun sebagian lainnya tersimpan rapat di rapot hidup masing-masing. Sejatinya membuat manusia makin bijak dan lebih menghamba padaNya. Entahlah bagaimana rapot hidup saya, berapa nilai evaluasi cobaannya, CUKUP atau BAIK ? atau bahkan perlu diremidial, sehingga Allah ulang kembali cobaan itu, diulang lagi, diulang lagi, diulang lagi, persis ujian di sekolah, hingga saya lulus mendapat nilai BAIK.
Gadis yang sedang menyandarkan masalahnya pada bahu saya pun sedang terserandung cobaan, dan saya, yang diamanahkan sebagai kakak da’wahnya bercita ingin hadir untuknya, sebagai pemandu ”mengerjakan soal ujian” agar bisa membantunya menggapai pertolongan dari Yang maha Kuasa, Allah Maha Pemberi Kemudahan.
Diakhir temu saya dengan gadis itu, saya menyisipkan beberapa lembar uang biru, untuk modal usaha, ”Berusahalah apa saja. Engkau anak ekonomi, lakukan amanah ilmu itu. Dan sampaikan kabar gembira pada kakakmu Dik, dengan kehadiranmu di lingkaran ujung pekan kita.”
***
Beberapa hari setelah itu, saya lebih khusyuk ketika mendo’akan adik-adik saya, hingga saya terperanjat...”Lhaa, kayanya yang diuji bukan hanya adik saya itu, tapi sesungguhnya saya pulalah yang sedang mendapat cobaan itu. Allah sedang menguji kompetensi status ke-kakak-an saya. Buktinya setelah cobaan ini, saya jadi lebih insaf ketika berdo’a. Duhai, lambat sekali saya berpikir”
Maka sejak saat itu, selain berdo’a sayapun sering menyapa jiwa adik-adik saya, lewat sms do’a sederhana, sungguh saya ingin membasahi hati mereka dengan cinta fillah ,
” Aku memohon pada Allah, agar Allah berkenan menyatukan hati kita,
Agar Allah membangunkan sebuah rumah di surga, tempat kita duduk melingkar, berbicara dan bertukar sapa, ditemani tilawah merdu burung surga dan hembusan lembut angin firdaus. Sungguh Dik, aku mencintai engkau karena Allah”
Mata sayapun basah ketika menuliskan sms itu
***
Amplop itu menyentakkan saya,
Amplop dari si gadis-adik da’wah saya- yang berisi beberapa lembar uang biru
Dikembalikan sebagai bentuk cobaan yang telah sukses ia lalui
Alhamdulillah wa syukurillah
Satu cobaan berat adik saya sudah terlewati
Sudah selesaikah sekolah kehidupan kita ?
Ehhm, tampaknya berbagai cobaan sudah mengantri untuk bertarung dengan keimanan kita.
Daftarnya sudah tertulis di lauhul mahfuzh.
Sebagian berupa musibah, namun sebagiannya pula berjelma tawa bahagia yang melenakan.
Ayo bersiap adik-adik !
Ayo semangat mengisi rapot kehidupan kita dengan nilai sempurna !
Bolehlah santai beristirahat, jika kaki sudah menjejak di surgaNya kelak !
Sesungguhnya lecutan semangat itu tidak hanya untuk adik-adik saya namun hakikatnya saya tujukan untuk diri saya sendiri J
Allahumma yasirlii amrii
Wallahu’alam
* Untuk adik-adik di lingkaran yang karena-Nya kita merenda cinta : Uhibbukunna Fillah !!
Bairanti Asriandhini Marwan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar