Senin, 04 April 2011

Pikir-Pikir Singkir


Oleh Rifki
Sinar matahari mulai terasa panas. Panasnya terasa bertambah saya rasakan di tubuh saya ketika memasuki kawasan padat lalu-lintas di Jalan TB Simatupang. Keringat mulai membasahi wajah saya. Untuk menguranginya, saya buka kaca helm saya untuk membiarkan wajah saya disapa angin yang bertiup perlahan. Lumayan.
Di saat semua kendaraan melaju lambat, saya alihkan pandangan saya ke kiri dan ke kanan. Aneka mobil dan motor dengan aneka merek berjalan searah beriringan. Di antara banyak kendaraan bermotor yang berjalan perlahan tersebut, mata saya menangkap sebuah gerobak berisi sayur-mayur. Ketika gerobak tersebut berjalan tepat di samping kiri, saya bisa melihat isi gerobak yang masih penuh dengan aneka sayur-sayuran. Mulai dari kangkung, bayam, jagung, sampai cabe.
Melihat gerobak yang masih penuh tersebut sementara waktu sudah mendekati tengah hari, terlintas sebuah pikiran di otak saya. "Si Bapak ini koq tengah hari gini baru keluar bawa sayuran. Apa gak takut kalau gak ada pembeli. Jam segini kan biasanya ibu-ibu sudah masak sayuran yang dibelinya di pagi hari."
Sesaat kemudian, pikiran lain muncul, "Buat apa mikirin rezeki si tukang sayur? Emangnya kalau dia rugi kamu ikutan rugi? Rezeki dia sudah ada yang beri. Daripada ngomel-ngomel sendiri lebih baik kirim doa aja, supaya dagangannya laku. Dia senang, kamu pun gak sewot. Mikirin tukang sayur gak bikin jalanan jadi lancar, fokus aja supaya selamat sampai tujuan."
Ya, terkadang, baik sengaja atau tidak sengaja, sebuah persoalan masuk ke dalam pikiran dan langsung menjadi beban. Padahal kalau diteliti, persoalan tersebut tidak ada kaitannya sama sekali dengan diri dan aktifitas kita. Persoalan itu ada atau tidak, selesai atau tidak selesai, tidak menambah atau mengurangi nilai kehidupan kita. Bahkan yang ada hanya akan menguras tenaga dan pikiran saja. Bukankah Islam mengajarkan bahwa di antara tanda kebaikan keislaman seseorang adalah ia meinggalkan perkara yang tak berguna baginya?
Sebuah analogi ada dalam sebuah kisah keluarga tukang kunci. Sang Bapak yang merupakan ahli kunci terkemuka di daerah tempatnya tinggal, ingin menyerahkan usaha yang dia miliki kepada salah satu anaknya. Tetapi dia merasa bingung memilih di antara kedua anaknya, karena Keduanya memiliki kemampuan yang sama bagus. Dalam kebingungan dan kebimbangan tersebut, akhirnya dia memutuskan untuk mengadakan lomba. Siapa pun yang menjadi pemenang di dalam lomba tersebut maka dia lah yang akan menjadi penerus usaha keluarga.
Pada hari lomba diadakan, Sang Bapak memanggil kedua anaknya dan menyampaikan segala ketentuan lomba.
"Tujuan kalian berdua adalah membuka kotak yang berisi benda berharga yang ada di dalam kamar masing-masing. Yang menjadi pemenang adalah siapa yang paling cepat membuka kotak tersebut dan kembali ke tempat ini. Mengerti?"
"Mengerti, Pak!" Jawab keduanya serempak.
Setelah Sang Bapak memberi aba-aba sebagai tanda dimulainya lomba, maka kedua anak tersebut segera berlari menuju masing-masing kamar dan melakukan apa yang menjadi tujuan lomba. Selama beberapa saat keduanya berusaha membuka kotak di hadapan masing-masing. Sementara Sang Bapak hanya menunggu di luar kamar sambil berharap siapa pun yang menjadi penerus usahanya adalah yang terbaik di antara kedua anaknya.
Tiba-tiba, Sang Bapak melihat pintu kamar anak bungsunya terbuka disusul dengan keluarnya sang anak yang kemudian berlari ke hadapannya. Beberapa saat kemudian, giliran pintu kamar anak sulungnya. Keluar dari kamar, anak sulungnya juga berlari-lari menuju tempat semula di hadapan sang Bapak.
"Sesuai dengan ketentuan lomba di awal tadi, pemenangnya adalah siapa yang paling cepat membuka peti di dalam kamar dan kembali ke tempat ini. Dengan ini saya menyatakan bahwa pemenang di antara kalian berdua adalah kamu, Amir. Kaulah yang berhak meneruskan usaha keluarga ini. Sedangkan kamu, Amar, bantulah adikmu dalam mengembangkan usaha keluarga ini," pesan sang Bapak.
"Tapi aku punya satu pertanyaan kepadamu, Amar. Aku tahu, kemampuanmu tidak berbeda dengan adikmu. Aku yakin kamu bisa membuka peti di dalam kamarmu secepat yang adikmu lakukan. Tetapi kenapa kamu keluar kamar lebih lambat dari adikmu? Apakah kamu mengalami kesulitan membuka peti itu?"
Mendengar pertanyaan itu, Amar menjawab, "Sebenarnya aku telah berhasil membuka dengan cepat. Tetapi aku tidak langsung keluar kamar. Aku penasaran dengan benda yang ada di dalam peti tersebut, maka aku pun membuka peti dan melihat isinya. Padahal perbuatan tersebut tidak ada dalam ketentuan lomba dan akibatnya aku kalah dalam lomba ini."
Wallahu a'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar