Oleh Piyanza
Malam itu sebuah ketukan kecil halus di pintu rumah terdengar. Aku tau anak kesayanganku dan suami baru pulang dari mesjid menunaikan shalat Isya.
“Assalamualaikum, Mamaaaaaa,” ujarnya.
“Wa’alaikum salam, Sayang.” Jawabku dan tangankupun terbuka menyambut dia yang berlari ke arahku. Memeluknya dan memberi kecupan di kedua pipinya.
“Tadi Muhammad ikut shalat. Gak main-main. Nggak lari-lari di mesjid”, katanya penuh semangat.
“Tadi ada anak-anak lebih besar dari Muhammad nggak shalat, kerjanya di mesjid main-main dan berlari-lari saja. Bisa masuk neraka nggak dia, Mama? Dibakar Allah nggak nanti?” Anak lelakiku yang baru berumur 5 tahun bertanya kepadaku.
Waduh... kok sepertinya seram amat yah komentar anakku. Kalimat 'ada anak yang nggak shalat, bakal masuk neraka' agak menohokku. Kok anak-anak ada yang dibakar? Kok sadis sekali. Kenapa anakku bisa bicara seperti itu. Jangan-jangan selama ini dia mengkait-kaitkan kata-kataku. Aku teringat, dia pernah bertanya, kenapa mama dan papa selalu shalat. Mungkin jawaban yang kuberikan kurang tepat dan seadanya untuk anak seusianya. Saat itu aku menjawab sekenanya saja.
”Kalau mama dan papa nggak shalat nanti Allah marah dan bisa masuk neraka.” Ternyata jawaban yang sekali itu begitu terekam dipikirannya. Duh sepertinya salah deh....! Mungkin pendekatan ancaman untuk anak sebesar itu kurang tepat.
Anakku yang baru satu ini kadang-kadang minta ikut papanya ketika ingin ke mesjid menunaikan shalat Maghrib atau Isya. Biasanya aku selalu mengingatkan kalau di mesjid shalatnya yang benar, jangan main-main di mesjid karena akan mengganggu orang yang sedang beribadah. Mesjid bukan tempat anak-anak bermain-main.
Teringat kata suami, rajin membawa anak lelaki ke mesjid adalah kewajibannya, mendidik anak supaya cinta kepada mesjid. Jangan melarang anak kecil yang datang ke mesjid yang dibawa orangtuanya, asalkan orangtuanya dapat memberi pengertian apa fungsi mesjid tersebut. Jangan sampai kita membuat anak–anak yang dilarang ke mesjid di waktu kecil setelah besar jadi malas ke mesjid malahan lebih suka ke tempat-tempat yang sangat dekat dengan maksiat. Padahal sebaik-baik shalat lelaki adalah berjamaah di mesjid.
Terkadang kami shalat berjamaah hanya di rumah. Diapun ikut shalat. Walau terkadang godaan setan ada saja ketika hendak shalat Maghrib sedang ada acara TV yang menarik baginya. Aku tak pernah memaksakannya untuk selalu shalat berjamaah bersama kami. Kalau dia mau shalat sendiri juga boleh karena dia pun sudah hafal gerak-gerakan shalat dan beberapa surat pendek.
Terkadang dia mau shalat berjamaah, terkadang tidak, terkadang malah nggak mau shalat sama sekali. Aku tak ingin memaksanya, cuma mengatakan kalau Allah sayang dengan orang yang rajin shalat. Ketika dia minta izin untuk tak ikut shalat kadang-kadang aku iyakan. Cuma aku ingatkan juga, kalau dia memang belum wajib untuk shalat.
“Tapi nanti kalau sudah berumur sepuluh gak shalat, Mama boleh pukul ya kalau nggak shalat untuk mendidik dan mengingatkan. Anak kecil nggak ada yang masuk neraka , Sayang. Sekarang Mama harus mengajarkan supaya kalau sudah besar terbiasa untuk tidak malas shalat,” terangku.
“Ma, kenapa anak-anak disuruh shalat juga?” tanyanya.
“Supaya kalau sudah besar dan dewasa tau apa yang harus dilakukan dan dikerjakan seorang muslim, kalau dari kecil tak Mama ajarkan nanti udah besar tidak shalat juga, Mamapun bisa masuk neraka karena tak mengajarkan anak, dan itu berarti kesalahan Mama juga,” ujarku.
Pendekatan ancaman bagi anak-anak bila tidak mematuhi hukum agama sepertinya mengerikan. Ancaman api neraka yang menyala-nyala membuat mereka sangat ketakutan, seolah-olah yang terekam dalam benak mereka bahwa Allah itu sangat kejam saja. Padahal Allah juga Maha Pengasih, Maha Penyanyang, Maha Pengampun.
Beberapa saat sebelum tidur malam adalah acara ritual yang paling disukainya. Sambil mengingatkannya membaca doa sebelum tidur dan kubacakan beberapa surat pendek agar dia bisa mengikutinya. Sebelum mata terpejam, hal yang paling menyenangkan baginya adalah bercerita-cerita dengan mama dan papanya. Cerita apa saja, tetapi malam ini sambil kubelai rambutnya kubertanya padanya.
”Muhammad sayang Mama gak?”
Sambil lalu dia menjawab, “Tentulah sayang,”
“Sayang Papa gak?”
Diapun menjawab dengan cuek.
“Tentulah sayang dua-duanya.”
“Kalau Papa atau Mama sedang pergi, Muhammad rindu gak dengan Papa atau Mama ?”
“Tentulah rinduuuuu...”
“Kalau rindu dengan Papa, Muhammad ngapain...?”
Diapun menjawab, “Ya nelepon Papa.”
“Nah begitu juga dengan Allah. Allah sangat sayang pada kita, Allah sudah begitu banyak memberikan kita kenikmatan, bisa makan yang enak, tidur yang nyenyak, tidak sakit, Allah memberi rezeki sehingga Papa bisa beli mainan, bisa jalan-jalan. Bukankah Allah sayang sekali dengan kita. Kalau Allah sayang kita, kitapun harus sayang dengan Allah...”
“Nah cara kita menunjukkan sayang kita ya dengan harus selalu mengingat Allah, salah satunya dengan shalat. Shalat adalah cara kita berhubungan dengan Allah, dengan shalat dan doa kita meminta semuanya dan mengadukan semuanya pada Allah...”, ujarku.
“Oh iya..yaaaa...” jawabnya lagi. Entah sudah mengerti entah tidak akupun tak tau, mudah-mudahan dia selalu ingat nasehat ku.
“Muhammad ingat, lagu yang mama ajarkan itu, satu-satu aku sayang Allah, dua-dua sayang Rasulullah, tiga-tiga sayang Mama Papa satu dua tiga sayang semuanya...”
Tanpa kumintapun dia sudah bersemangat mengikuti ku menyanyikan lagu itu.
“Sekarang cepat lah tidur, biar besok bangun lebih pagi...kan bisa shalat subuh dengan mama dan papa...” bujukku.
“Nggak aaaahhhhh...anak kecil kan nggak apa-apa kalo nggak shalat, kan nggak ada anak kecil di neraka, Mama...” Aduuuuh...!
"Ya Rabbku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat. Ya Rabb kami, perkenankanlah doaku.” (QS. Ibrahim [14] : 40)
“Hai orang-orang yang beriman, rukuklah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.” (QS. Al-Hajj [22] : 77)
Tanah Melayu, 22 Maret 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar