Senin, 30 Mei 2011

Menyemai Biji-Biji Kebajikan

Oleh Fathelvi Mudaris

Pagi ini, aku melaksanakan gotong royong kecil-kecilan di pekarangan dan membersihkan kebun bersama ibuku tercinta. Menghabiskan akhir pekan ini dengan sebuah cangkul, sebatang sapu lidi dan sebuah gunting tanaman sambil tertawa dan bercerita dengan berbagai tema.
Ketika ayunan ringan si cangkul sampai pada segerombol tanaman bunga baru yang begitu banyak, mendadak aku dibuat takjub. Ada begitu banyak batang yang tumbuh di sana dengan tinggi rata-rata 10 cm. Masya Allah, kenapa selama ini luput oleh perhatianku? Batinku.
Dahulu, tanaman bunga itu hanya satu atau dua batang saja. Bunga itu sudah mekar dan menjulang tinggi. Warnanya ungu tua dan sangat cantik. Setelah ia meranggas dan mati, rupanya ia meninggalkan begitu banyak bibit. Ya, bahkan setelah ia tercerabut dari tanah dan menjadi lapuk bersama bakteri, bersamaan dengan itu pula, bertumbuh begitu banyaaak bunga-bunga lainnya. Sepeninggalnya.
Lama kuperhatikan tanaman itu. Hingga sebingkai senyum kuulas untuk sebuah pelajaran berharga yang diajarkan oleh sang bunga itu kepadaku. Ya, bunga itu dan segenap kejadian alam telah memberikan banyak pelajaran pada kita. Dari sang bunga, aku memetik sebuah hikmah, ibroh dan pelajarn berharga.
Bunga itu mengajarkan soal menebarkan kebaikan dan memberikan kemanfaatan pada banyak orang. Lihatlah, satu atau dua batang saja, lalu setelah ia meninggalkan begitu banyak biji-bijinya, bertumbuhanlah begitu banyak bunga sejenis. Masya Allah…. Barang kali, begitu pula halnya dengan kebaikan yang kita semaikan biji-bijinya. Mungkin, ketika pertama kali, hanya kita atau mungkin satu dua orang saja. Akan tetapi, ketika kita terus menyebarkan biji-biji kebaikan dan senantiasa mengajak pada kebaikan, masya Allah… setelah kita, di sekeliling kita, bertumbuhanlah kebajikan yang banyak. Bahkan, setelah kita sudah tak lagi berada di atas bumi ini.
Untuk ini, Allah memberikan ganjaran yang tidak tanggung-tanggung. Nilai kebajikan yang sama seperti orang yang melaksanakan kebajikan itu, tanpa mengurangi pahala mereka. Jika kita semaikan ajakan dan biji kebajikan itu dan diikuti oleh banyak orang, maka sungguh, ia akan menjadi investasi yang Allah ganjar dengan nilai pahala yang banyak. Sebanyak orang yang melakukannya tanpa mengurangi sedikitpun bagian investasi mereka. Masya Allah…
Dari Abu Mas’ud ‘Uqbah bin ‘Amr Al Anshary Al Badry ra. Berkata, Rasulullah SAW bersabda,“Barang siapa yang member petunjuk kepada kebaikan maka ia mendapat pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim)
Dari Abu Hurairah ra. Bahwasannya Rasulullaah SAW bersabda, “Barang siapa yang mengajak pada petunjuk/kebenaran maka ia mendapat pahala seperti pahala-pahala orang yang mengerjakannya dengan tidak mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barang siapa yang mengajak kepada kesesatan maka ia mendapat dosa seperti dosa-dosa orang yang mengerjakannya dengan tidak mengurangi dosa-dosa mereka sedikit pun.” (HR. Muslim)
Dan ternyata, ini berlaku juga untuk biji-biji kejahatan dan keburukkan. Ketika ajakan kepada kesesatan membuat biji-biji kesesatan itu bersemai di sekeliling kita, maka, kita pun menabung investasi dosa. Astaghfirullaah…Na’udzubillaah tsumma na’udzubillah…
Wahai diriku, juga dirimu… Semoga ini menjadi pengingat bagi diri kita semua untuk senantiasa MELAKSANAKAN dan juga sekaligus menyemaikan biji-biji kebajikan di sekeliling kita. Agar yang bertumbuh adalah pohon-pohon kebaikan, bukan pohon-pohon kemungkaran. Jangan pernah remehkan ajakan sederhana baik itu kebajikan maupun keburukan. Karena, boleh jadi, biji-biji kebajikan yang kita kira sederhana itulah yang akan membuat bertumbuhnya banyak kebajikan yang sama di sekeliling kita. Pun begitu halnya dengan biji keburukan. Jangan remehkan biji-biji keburukan sekecil apapun itu, karena boleh jadi saja, biji-biji itu akan bertumbuh pula yang akan menjadi ‘investasi dosa’ bagi kita, Karena pada kitalah bermulanya…
Astaghfirullaah lii walakum…
Mari saling berlomba untuk menyemai biji-biji kebajikan…
Mari saling mengingatkan ketika diri kita atau saudara kita tergelincir…
Alhaqqu min rabbik…falaa takunanna minal mumtariin…
eramuslim.com

Minggu, 29 Mei 2011

Hikmah dibalik Musibah


Musibah emang bisa bikin susah. Tapi jangan keterusan bikin hati gundah. Karena ternyata Allah menyiapkan hikmah di baliknya. Tetep don’t worry be happy.

Kalo bisa milih, kagak bakal ada remaja yang sudi menerima bencana. Mana ada dong orang yang mau rumahnya diacak-acak gelombang tsunami, mobilnya digulung tornado, atau orang-orang terkasihnya ditelan gempa tektonik. Kagak bakal ada yang mau, bro!

Manusia itu tipikalnya emang seneng banget dengan yang namanya happyness. Pengennya seneng en bahagia selalu. Jadi mahluk yang namanya musibah kagak didemenin ama banyak orang. Termasuk oleh remaja.
Tapi gimana bisa kita milih? Lha wong tahu-tahu gelombang tsunami udah ada di depan mata. Atau gimana bisa nyelametin rumah kita kalau dalam sekejap mata tanah udah belah karena hentakan gempa tektonik. Hidup itu terkadang emang nggak bisa memilih.

Ujian hidup, Bro!
Kalo kita pikir-pikir, ternyata hidup ini emang ada siklusnya; ada siang ada malam, ada mentari ada simpati eh rembulan maksudnya, dan ada tawa ada duka. Allah Swt. nggak hanya memberikan kesenangan hidup buat umat manusia, tapi juga ngasih sesuatu yang bisa bikin manusia terhenyak lalu bercucuran air mata duka.

Guys, itu semua kata orang-orang alim dan soleh adalah sunnatullah. Sesuatu yang emang udah ditakdirkan oleh Allah sebagai bagian kehidupan yang udah pasti menimpa manusia. Misalnya, ada kelahiran ada juga kematian. Ketika ada bayi yang lahir, orangtuanya kan pasti gembira bin sumringah. Tapi ketika orang yang dikasihi meninggal, pastinya bersedih. Dan ternyata itu terjadi setiap saat dalam kehidupan kita. Nggak ada orang yang bisa menolak kelahiran dan kematian. Semua udah ditakdirkan oleh Allah Swt. FirmanNya: “Apabila Dia telah menetapkan sesuatu, maka Dia hanya berkata kepadanya: “Jadilah”, maka jadilah ia.”(QS Maryam [19]: 35)

Tapi apa iya Allah tega melihat mahlukNya menderita? Pasti tidak, tapi Allah memang selalu ngasih yang namanya ujian hidup buat manusia yang beriman. Kalo ada manusia yang beriman, maka Allah pengen tahu seperti apa sih keimanannya; beneran atau palsu? Tinggi atau rendah? Allah Swt. berfirman: “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi?” (QS al-’Ankabuut [29]: 2)

Ujian yang berupa musibah itu macam-macam bentuknya; mulai dari yang kecil sampe yang gede. Mulai hati yang resah, badan yang cape en pegel-pegel, sampai musibah besar seperti yang menimpa saudara-saudara kita di berbagai daerah. Termasuk serangan si biadab Israel ke Palestina dan Libanon adalah ujian dari Allah untuk umatNya. Rasulullah saw. bersabda: “Tiada seorang muslim yang menderita kelelahan atau penyakit atau kesusahan hati, bahkan gangguan yang berupa duri melainkan semua kejadian itu akan berupa penebus dosa.” (HR Bukhari, Muslim)

Tapi gimana dong, kan nggak semua orang tahan menghadapi ujian atawa musibah? Jangan khawatir, guys. Semua ujian itu ternyata udah diatur oleh Allah agar sesuai dengan kekuatan iman masing-masing. Allah menjelaskan dalam ayatNya: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.” (QS al-Baqarah [2]: 286)

Nabi saw. bersabda: “Ujian yang paling berat adalah bagi para nabi, kemudian berikutnya dan berikutnya, seseorang diuji (oleh Allah) sesuai kadar agamanya. Maka tidaklah musibah menimpa seseorang sehingga ia berjalan di atas bumi dan tidak ada dosa padanya.” (HR Bukhari)

Pelajaran empati
Orang-orang yang soleh juga mengatakan kalau hal seperti itu adalah cara cerdas dari Allah untuk bikin manusia menikmati hidup. Maksudnya, kalo kita nggak pernah ngalamin yang namanya musibah, kita nggak bakal tahu cara bersyukur nikmat. Contohnya nih, kalo kita nggak pernah sakit gigi, kita mungkin suka lupa betapa nikmatnya punya gigi sehat yang bisa ngunyah makanan kesukaan kita.

Selain itu, dengan adanya bencana yang menimpa manusia, kita diajarkan untuk bisa berempati pada penderitaan orang lain. Turut merasakan derita orang lain, karena kita juga pernah mengalami penderitaan yang serupa. Mereka yang hidupnya selalu hedonis, selalu mikirin dan nyari kesenangan ragawi, rada susah diajak untuk berempati. Pasalnya, hidup abis untuk ngedugem en having fun.

Dalam buku Kebun Hikmah, dikisahkan ada seorang wanita salehah yang gemar bersedekah. Tapi kebiasaannya itu justru ditentang oleh keluarganya. Sampai suatu ketika keluarganya memutuskan untuk tidak memberinya nafkah. Tujuannya memberi pelajaran supaya dia menghargai harta dan tidak banyak bersedekah. Akhirnya ia pun jatuh fakir.

Melihat saudaranya menderita, keluarganya menjadi iba. Akhirnya mereka memberinya lagi nafkah berupa shirmah (unta berjumlah sekitar 20-30 ekor). Suatu ketika datang seorang pengemis yang mengiba-iba. Wanita itu langsung saja memberinya seluruh unta yang diberikan keluarganya karena ia pernah merasakan derita sebagai orang fakir. Subhanallah!

Jadi di balik bencana – sekecil apapun itu – Allah ingin memberikan pesan yang indah; mensyukuri nikmat Allah yang ada dan bisa berempati pada penderitaan orang lain.

Orang kafir nggak?
Pernah nggak kepikiran, kenapa justru bencana sering menimpa orang baik-baik dan beriman, sementara orang-orang kafir justru baek-baek aja?

Hmm, wajar deh ada pertanyaan macam itu. Kalo kita liat betapa susahnya perjuangan dakwah Nabi saw., aduh sedih dan gemes. Ternyata dakwah itu berliku dan penuh kerikil tajam. Sering banget Nabi saw. dan para sahabat mendapatkan intimidasi dan siksaan fisik dari orang-orang kafir. Bahkan sewaktu ke Thaif, beliau mendapatkan serangan batu dari penduduknya. En ternyata, Allah Swt. kemudian memberitahu kepada beliau kalau para nabi dan rasul terdahulu juga mengalami nasib serupa. FirmanNya: “Dan sesungguhnya telah didustakan (pula) rasul-rasul sebelum kamu, akan tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka, sampai datang pertolongan Kami kepada mereka. Tak ada seorangpun yang dapat merobah kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Dan sesungguhnya telah datang kepadamu sebahagian dari berita rasul-rasul itu.” (QS al-An’aam [6]: 34)

Sementara itu, para pemimpin Quraisy seperti Abu Jahal, Abu Lahab dan Walid bin Mughirah hepi banget menyiksa dan melihat derita kaum muslimin.? Kita juga sering ngeliat banyak orang jahat dan kafir yang hidupnya nampak hepi. Bergelimang harta dan popularitas. Apa kagak salah Allah ngasih itu semua?

Nggak, guys. Sama sekali nggak salah. Di balik pemberian Allah yang nampaknya nikmat, sebetulnya tersembunyi laknat. Allah tuh sengaja memberikan itu semua agar mereka makin terbuai dalam kejahatannya lalu Allah bakal ngebales perbuatan mereka dengan azabNya yang pedih. FirmanNya: “Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS an-Nisaa [4]: 115)

So, saudara-saudaraku yang tengah tertimpa musibah, di mana saja, don’t worry be happy. Di balik aneka musibah itu Allah tengah menyiapkan aneka kebaikan dan pahala yang luaaar biasa, jika kita mau bersabar dan tetap berkeyakinan kalo Allah itu Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Yakin deh, bro en sis! [januar]

3 Jurus Penghilang Duka
  • Don’t look back! Jangan melulu ngingetin masa lalu, tataplah ke depan. Kita emang pantes bersedih, tapi jauh lebih penting mempersiapkan diri menghadapi masa depan. Allah sengaja menyelamatkan kita supaya jadi orang yang makin tegar. Inget, banyak orang yang menjadi hero setelah aneka musibah yang menimpanya.
  • Stop crying! Jangan keterusan nangis. Yang udah berlalu dan berpulang padaNya kagak bakal bisa balik lagi. Syukuri apa yang Allah masih berikan pada kita. Bahwa kamu masih survive en juga orang-orang terdekatmu, atau mungkin sebagian harta keluargamu. Nangis terus menambah berat masalah.
  • Think positive! Tetep mikir positif. Alhamdulillah, kamu masih sehat dan selamat, masih banyak orang yang tertimpa musibah lebih parah en mereka masih baik-baik saja. Yakini bahwa ini adalah ujian dari Allah – bukan hinaan apalagi kezhaliman – yang kalo kita bisa melewatinya dengan baik bakal menuai pahala yang besar. [januar]
Oleh IkhwanSableng

Ketika Iffah mulai luntur…


Ketika perpecahan keluarga menjadi tontonan yang ditunggu dalam sebuah episode infotainment setiap hari. Ketika aib seseorang ditunggu-tunggu ribuan mata bahkan jutaan dalam berita-berita media massa. Ketika seorang celebritis dengan bangga menjadikan kehamilannya di luar pernikahan yang sah sebagai ajang sensasi yang ditunggu-tunggu ...’siapa calon bapak si jabang bayi?’

Ada khabar yang lebih menghebohkan, lagi-lagi seorang celebrities yang belum resmi berpisah dengan suaminya, tanpa rasa malu berlibur, berjalan bersama pria lain, dan dengan mudahnya mengolok-olok suaminya.

Wuiih......mungkin kita bisa berkata ya wajarlah artis, kehidupannya ya seperti itu, penuh sensasi.Kalau perlu dari mulai bangun tidur sampai tidur lagi, aktivitasnya diberitakan dan dinikmati oleh publik.

Wuiiih...... ternyata sekarang bukan hanya artis yang bisa seperti itu, sadar atau tidak, ribuan orang sekarang sedang menikmati aktivitasnya apapun diketahui orang, dikomentarin orang bahkan mohon maaf ....’dilecehkan’ orang, dan herannya perasaan yang didapat adalah kesenangan.

Fenomena itu bernama facebook, setiap saat para facebooker meng update statusnya agar bisa dinikmati dan dikomentarin lainnya. Lupa atau sengaja hal-hal yang semestinya menjadi konsumsi internal keluarga, menjadi kebanggaan di statusnya. Lihat saja beberapa status facebook :

*
Seorang wanita menuliskan “Hujan-hujan malam-malam sendirian, enaknya ngapain ya.....?”------kemudian puluhan komen bermunculan dari lelaki dan perempuan, bahkan seorang lelaki temannya menuliskan “mau ditemanin? Dijamin puas deh...”

*
Seorang wanita lainnya menuliskan “ Bangun tidur, badan sakit semua, biasa....habis malam jumat ya begini...:” kemudian komen2 nakal bermunculan. ..

*
Ada yang menulis “ bete nih di rumah terus, mana misua jauh lagi....”, ----kemudian komen2 pelecehan bermunculan

*
Ada pula yang komen di wall temannya “ eeeh ini si anu ya ...., yang dulu dekat dengan si itu khan? Aduuh dicariin tuh sama si itu....” ----lupa klu si anu sudah punya suami dan anak-anak yang manis

*
Yang laki-laki tidak kalah hebat menulis statusnya “habis minum jamu nih...., ada yang mau menerima tantangan ?’----langsung berpuluh2 komen datang

*
Ada yang hanya menuliskan, “lagi bokek, kagak punya duit...”

*
Ada juga yang nulis “ mau tidur nih, panas banget...bakal tidur gak pake dalaman lagi nih”

*
Dan ribuan status-status yang numpang beken dan pengin ada komen-komen dari lainnya

Dan itu sadar atau tidak sadar dinikmati oleh indera kita, mata kita, telinga kita, bahkan pikiran kita.

Ada yang lebih kejam dari sekedar status facebook, dan herannya seakan hilang rasa empati dan sensitifitas dari tiap diri terhadap hal-hal yang semestinya di tutup dan tidak perlu di tampilkan.

*
Seorang wanita dengan nada guyon mengomentarin foto yang baru saja di upload di albumnya, foto-foto saat SMA dulu setelah berolah raga memakai kaos dan celana pendek.....padahal sebagian besar yg didalam foto tersebut sudah berjilbab

*
Ada seorang karyawati mengupload foto temannya yang sekarang sudah berubah dari kehidupan jahiliyah menjadi kehidupan islami, foto saat dulu jahiliyah bersama teman2 prianya bergandengan dengan ceria....

*
Ada pula seorang pria meng upload foto seorang wanita mantan kekasihnya dulu yang sedang dalam kondisi sangat seronok padahal kini sang wanita telah berkeluarga dan hidup dengan tenang

Rasanya hilang apa yang diajarkan seseorang yang sangat dicintai Allah...., yaitu Muhammad, Rasulullah kepada umatnya. Seseorang yang sangat menjaga kemuliaan dirinya dan keluarganya. Ingatkah ketika Rasulullah bertanya pada Aisyah “ Wahai Aisyah apa yang dapat saya makan pagi ini?” maka Istri tercinta, sang humairah, sang pipi merah Aisyah menjawab “ Rasul, kekasih hatiku, sesungguhnya tidak ada yang dapat kita makan pagi ini”. Rasul dengan senyum teduhnya berkata “baiklah Aisyah, aku berpuasa hari ini”. Tidak perlu orang tahu bahwa tidak ada makanan di rumah rasulullah.. ..

Ingatlah Abdurahman bin Auf mengikuti Rasulullah berhijrah dari mekah ke madinah, ketika saudaranya menawarkannya sebagian hartanya, dan sebagian rumahnya, maka abdurahman bin auf mengatakan, tunjukan saja saya pasar. Kekurangannya tidak membuat beliau kehilangan kemuliaan hidupnya. Bahwasanya kehormatan menjadi salah satu indikator keimanan seseorang, sebagaimana Rasulullah, bersabda, “Malu itu sebahagian dari iman”. (Bukhari dan Muslim).

Dan fenomena di atas menjadi Tanda Besar buat kita umat Islam, hegemoni ‘kesenangan semu’ dan dibungkus dengan ‘persahabatan fatamorgana’ ditampilkan dengan mudahnya celoteh dan status dalam facebook yang melindas semua tata krama tentang Malu, tentang menjaga Kehormatan Diri dan keluarga.

Dan Rasulullah menegaskan dengan sindiran keras kepada kita “Apabila kamu tidak malu maka perbuatlah apa yang kamu mau.” (Bukhari). Arogansi kesenangan semakin menjadi-jadi dengan tanpa merasa bersalah mengungkit kembali aib-aib masa lalu melalui foto-foto yang tidak bermartabat yang semestinya dibuang saja atau disimpan rapat.

Bagi mereka para wanita yang menemukan jati dirinya, dibukakan cahayanya oleh Allah sehingga saat di masa lalu jauh dari Allah kemudian ter inqilabiyah – tershibghoh, tercelup dan terwarnai cahaya ilahiyah, hatinya teriris melihat masa lalunya dibuka dengan penuh senyuman, oleh orang yang mengaku sebagai teman, sebagai sahabat.

Maka jagalah kehormatan diri, jangan tampakkan lagi aib-aib masa lalu, mudah-mudahan Allah menjaga aib-aib kita.

Maka jagalah kehormatan diri kita, simpan rapat keluh kesah kita, simpan rapat aib-aib diri, jangan bebaskan ‘kesenangan’, ‘gurauan’ membuat Iffah kita luntur tak berbekas.[]FTJAI
  oleh abu azka Jumat, 28 Mei 2010

Sabtu, 28 Mei 2011

Tafakur KEBERADAAN JARUM JAHIT PUN PUNYA MAKNA

Kebanyakan manusia tidak memikirkan makna keberadaan dirinya di dunia ini. Kesibukannya sehari-hari telah menyita sebagian besar waktu, tenaga dan kesempatannya untuk memikirkan hal terpenting dalam kehidupannya. Yakni, untuk mempertanyakan dan mendapatkan jawaban pasti mengapa ia hadir di dunia ini. Seseorang yang mendapatkan jawaban pasti mengapa ia ada di dunia ini, untuk apa ia hidup, mau ke mana arah hidupnya, memiliki sikap hidup yang berbeda dengan mereka yang acuh dengan segala hal tersebut. Orang yang memahami dengan benar arti dan tujuan hidupnya akan berusaha sungguh-sungguh menjalani hidupnya sesuai dengan makna dan tujuan tersebut.

Lihatlah segala yang ada di sekitar kita yang dibuat manusia. Sebutlah satu saja yang terkecil dari semua yang ada. Misalnya jarum jahit. Kini coba pikirkan, mengapa jarum jahit ada di dunia ini? Dengan cepat, kita pasti akan menjawab bahwa benda kecil tajam ini ada untuk membantu manusia menjahit kain atau pakaian, atau untuk kegunaan serupa lainnya. Yang pasti tak pernah sedikit pun terlintas dalam benak siapa pun yang berakal sehat bahwa jarum jahit ada dengan sendirinya tanpa kegunaan apa pun. Dengan pengetahuan ini, kita akan menggunakan jarum jahit sesuai dengan tujuan pembuatannya. Kita bisa pula memanfaatkan jarum jahit untuk kegunaan lain yang sesuai dengan bentuk serta bahan bakunya, misalnya untuk melubangi kertas atau plastik, dan sebagainya. Yang pasti, kita tidak akan menggunakannya untuk hal-hal yang memang tidak cocok seperti: untuk dimakan, untuk menulis atau untuk mengikat benda. Kalau hal ini kita paksakan, maka akan membahayakan diri kita maupun orang lain, atau tidak akan bisa sama sekali karena memang bukan fungsinya.

Sama halnya, manusia adalah wujud yang jauh lebih besar, lebih rumit dan lebih sempurna daripada si mungil jarum jahit. Pastilah keberadaan manusia di dunia ini ada guna dan tujuannya, yaitu menjadi sebaik-baik hamba dari Sang Pencipta, menebar kebaikan dan kemanfaatan bagi manusia lain dan segenap makhluk. Sudah selayaknya manusia mengarahkan kehidupannya sesuai tujuan penciptaan tersebut. Ini adalah kesimpulan dari pemikiran akal sehat. Tidak sepatutnya manusia acuh atau tak peduli akan tujuan keberadaannya. Manusia hendaknya berusaha mengarahkan segenap kegiatannya sehari-hari dalam rangka melaksanakan tujuan hidup ini. Mereka sepatutnya menggunakan seluruh anggota tubuhnya, daya-pikir dan kejiwaannya sesuai dengan fungsi penciptaan masing-masing alat tubuh dan sarana hidup tersebut. Jika tidak, ini akan membahayakan dirinya maupun orang lain, bahkan seluruh isi alam semesta yang lainnya.

Antara Penuntut Ilmu dan Pecandu Internet


بسم الله الرحمن الرحيم

Seorang penuntut ilmu, pertama sekali dia memperhatikan perbaikan dirinya sendiri dan senantiasa bersikap lurus, karena dia adalah teladan, baik dalam akhlaqnya maupun sikapnya.

Seorang penuntut ilmu, sangat bersemangat untuk meraih suatu kemanfaatan, bermajelis dengan para pemilik ilmu, pemilik keutamaan dan sifat wara’.

Seorang penuntut ilmu, senantiasa membekali diri dengan ilmu yang bermanfaat, menjaga waktunya (dari hal-hal yang tidak berguna), hingga engkau tidak melihatnya kecuali selalu mengambil manfaat, berpaling dari perkara yang sia-sia dan menyibukkan diri dengan perkara yang bermanfaat saja.

Seorang penuntut ilmu, apabila dia berbicara maka dia memberi manfaat dengan perkataannya, jika dia menulis maka dia memberi manfaat dengan tulisannya, hingga orang yang bermajelis dengannya tidak akan pernah kosong dari suatu manfaat.

Seorang penuntut ilmu, menghargai kemulian ilmu dan kedudukan ulama, dia mengambil ilmu dari para ulama, menhormati dan mendoakan mereka serta memohon rahmat untuk (ulama) yang sudah meninggal.

Seorang penuntut ilmu, membenci ghibah dan membenci orang yang suka berghibah, dia juga tidak ridho apabila aib seseorang dibicarakan di depannya. Engkau lihat seorang penuntut ilmu itu bersikap tawadhu’, tidak mengangkat dirinya melebihi kedudukannya yang sebenarnya, tidak berbangga dengan sesuatu yang tidak dia miliki, tidak tertipu dengan pujian dan sanjungan, tidak meninginkan ketenaran, tidak pula kedudukan di tengah-tengah manusia, karena dia tahu bahwa yang mampu mengangkat dan merendahkan seseorang hanyalah Allah Ta’ala, bukan seorang manusia.

Seorang penuntut ilmu, senantiasa berdakwah dan mensihati kaum muslimin, memerintahkan kepada yang ma’ruf dan melarang dari yang munkar sesuai dengan kaidah-kaidah syari’ah dan tatanan masyarakat. Engkau lihat seorang penuntut ilmu itu sangat bersemangat dalam menyatukan ummat, merekatkan hati-hati mereka dan membenci perpecahan antara Ahlus Sunnah, karena dia mengetahui bahwa perpecahan itu selalu bersama kebid’ahan dan persatuan selalu menyertai sunnah. Oleh karenanya dikatakan, “Ahlus Sunnah wal Jama’ah (persatuan)” dan “Ahlul Bid’ah wal Furqoh (perpecahan)”.

Demikian pula engkau lihat seorang penuntut ilmu selalu menjaga lisannya, dia tidak mengomentari semua gosip dan isu yang tersebar di masyarakat, karena dia tahu bahwa semua perkataan dan perbuatannya akan dihisab.

Seorang penuntut ilmu, memperhatikan maslahat pada setiap perkataan dan perbuatannya, dia tidak membuka pintu (mencontohkan) keburukan bagi manusia, tidak membicarakan perkara yang batil, tidak sibuk dengan permasalahan yang tidak dipahaminya, dia tidak masuk dalam suatu pembicaraan kecuali berdasar ilmu, sehingga dia tahu penyebab masalah yang ada dan apa solusinya. Benar-benar dia telah menyiapkan jawaban di hadapan Allah Ta’ala kelak (atas semua perkataan dan perbuatannya).

Inilah sebagian sifat penuntut ilmu, semoga Allah Ta’ala menganugarahkan sifat-sifat tersebut kepada kita.

Adapun pecandu internet, keadaannya terbalik, sebagaimana telah dimaklumi dan disaksikan.
Pecandu internet akhlaqnya rendah, suka melanggar kehormatan, menyia-nyiakan waktu tanpa manfaat, menyerang siapa saja tanpa memperdulikan kemuliaan ilmu, umur, kehormatan dan keutamaan. Dia juga berlagak ‘alim, mencari-cari kekurangan dan kesalahan orang lain, semua itu adalah buah dari mencandu internet secara berlebihan. Hari dan tahun yang dia lalui kosong tak berarti, hingga akhirnya dia tidak bisa tenang dan tidak membiarkan orang lain tenang.
Maka, jika engkau ingin menjadi penuntut ilmu, jalannya ada di depanmu dan telah jelas bagimu tanda-tandanya. Namun jika kamu memilih jadi pecandu internet, jalannya juga ada di depanmu, yang dipenuhi dengan kotoran dan najis, maka kotorilah dirimu sesuai kehendakmu, akan tetapi janganlah engkau membohongi manusia, sehingga engkau disangka seorang penuntut ilmu!

Diterjemahkan dari website resmi Asy-Syaikh Abu Malik Abdul Hamid Al-Juhani hafizhahullah, Imam dan Khotib Masjid Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu di Yanbu’ Al-Bahr, juga Da’i di Kementrian Wakaf, Dakwah dan Bimbingan KSA, dari artikel yang berjudul:

الفرق بين طالب العلم , وطالب الأنترنت

Footnote:
[1] Nasihat ini beliau tulis sebagai nasihat kepada para penuntut ilmu yang berdakwah via internet, sekaligus sebagai celaan terhadap orang-orang yang suka menyebar kerusakan di internet, mengoyak persatuan Ahlus Sunnah dan membuat lari kaum muslimin dari dakwah yang penuh berkah ini

http://nasihatonline.wordpress.com/2010/11/01/antara-penuntut-ilmu-dan-pecandu-internet/

Rabu, 25 Mei 2011

“Allah Tak Pernah Ingkar Janji”




Bottom of Form
Senin, 14 Februari 2011
TERKEJUT Hamdi mendengar tempat tugas dakwah yang cukup jauh dari tempat asalnya, Bengkulu. Belum pernah terpikir dalam hidupnya kota itu. Belum juga sirna, tiba-tiba, ia kembali dikagetkan, dengan informasi bahwa ia tidak akan dibekali sepeser uang saku pun untuk menuju ke sana.

Dan yang cukup membuat
dag-dig-dug, ia harus sudah sampai ke tempat tugas paling lambat empat hari ke depan.

Terang saja mendengar demikian, pemuda asal Lampung itu sempat linglung, setengah tidak percaya dengan apa yang didengar. Permasalahannya, bukan terletak pada jauhnya tempat tugas, atau besarnya biaya yang harus ia keluarkan untuk biaya transportasi. Namun pada saat itu, laki-laki berkulit cerah dan berkumis timis ini, memang benar-benar tidak memiliki uang sepeser pun. Sekiranya ada uang, tentu ceritanya tidak akan demikian.

Mengandalkan orangtua, sangat tidak mungkin. Mereka saja dalam kesusahan, bekerja sebagai buruh hutan. Karenanya, dia sempat protes sama sang-pimpinan, “Ustadz, bagaimana saya bisa ke Bengkulu dalam waktu 3-4 hari ke depan tanpa dibekali uang sedikitpun. Saya tidak punya uang sama sekali saat ini, ustadz” keluhnya saat itu.

“Pokoknya, yang penting, kamu sudah sampai di sana, tepat pada waktunya, tidak boleh terlambat”, ujar Hamdi, menirukan jawaban sang-ustadz.

Mendapat tanggapan demikian, Hamdi pun tidak berkutik. Di tempat kediamannya, dia mulai memutar otak, bagaimana mendapatkan uang untuk biaya keberangkatannya. Tak lama berselang, secercah peluang pun hinggap di benaknya. Dia teringat pamannya yang termasuk orang berada. Mobil pribadinya saja ada enam. “Pasti paman bisa membantu,” ucapnya membatin penuh keoptimisan.

Ketika ia penuh harap, ternyata pamannya tidak memberi sepeser uang pun untuknya. Sempat ingin mengadu ke bibi (istri pamannya) prihal permasalahannya, tapi dia urungkan niatnya, karena merasa malu.

Pertolongan Allah

Di tengah kegalauannya itu, Hamdi mencoba menerka-nerka, apa kira-kira hikmah di balik keputusan pimpinannya, yang mengutus tugas dakwah, nun jauh di sana, tanpa dibekali sepeser uang pun?.

Saat itu lah terlintas di benaknya firman Allah yang menerangkan, bahwa siapa saja yang bersusah payah menolong agama Allah, maka Allah pun akan menolongnya, “
In tanshurullah yan syurkum" (Apa bila engkau membantu agama Allah, maka Allah pun akan membantu engkau).” Hamdi mengingat salah satu firman Allah dalam al-Quran itu dengan perasan yakin.

Sedari itu, memuncaklah kembali rasa optimisnya, bahwa Allah tidak mungkin melantarkan dirinya yang berusaha memperjuangkan agama-Nya. Ia yakin, Allah tidak akan tidur, sebagaimana sejarah yang pernah terjadi pada Siti Hajar, istri Nabiullah Ibrahim.

“Sebagaimana Dia (Allah) telah menyelamatkan Hajar dan Ismail di tengah-tengah padang sahara, dengan memuncratkan air Zam-Zam dari bawah kaki Ismail”, terangnya.

Entah kenapa, setelah mengingat dan menghayati kandungan ayat tersebut, hati dan pikiran Hamdi terasa plong. Sepertinya, Allah telah membentangkan sederet jalan keluar, yang begitu jelas dihadapannya. Padahal, realitasnya, belum ada sama sekali ide cemerlang untuk mengetaskan permasalahannya tersebut.

Hari Jum’at, adalah batas akhir Hamdi mempersiapkan diri. Dia harus berangkat keesokkan harinya, karena hari Senin, ia harus menapakkan kaki di tempat tugas. Kira-kirajarak tempuh darat antara kota Lampung-Bengkulu, ± memakan waktu satu hari-satu malam.

Na’asnya, tepat pada hari yang telah ditentukan itu (Sabtu pagi), Hamdi belum juga mendapatkan uang serupiah pun. Meski demikian, ia sudah mempersiapkan keberangkatannya. Baju-baju, buku-buku, segala sesuatu yang dirasa dibutuhkan, semuanya sudah dikemas. Dia sendiri sudah berpakaian rapi, layaknya seorang perantau, yang siap melakukan perjalanan jauh.

Allah Maha Melihat Hamba-Hamba-Nya yang memang tulus berjuang di jalan-Nya. Dan sesungguhnya Allah tidak pernah mengingkari janji-janji-Nya. Dia tunjukkan kekuasaan-Nya pada pemuda yang saat ini tengah kuliah di salah satu Perguruan Tinggi Islam, Surabaya ini.
Ceritanya, sebelum berangkat, Hamdi menyempatkan diri berpamitan ke pada sanak saudara, dan tetangga-tetangga dekatnya. Untung tidak bisa diraih, malang tak dapat ditolak. Banyak dari mereka yang memberinya uang saku. Padahal, sedikitpun Hamdi tidak pernah mengungkapkan atau bercerita permasalahan finansialnya pada mereka.

“Mereka bilang sih, uang sekedar untuk beli es dan jajan di jalan, ” terangnya.

Yang mencengangkan, setelah dihitung totalitasnya, jumlah nominal yang diperoleh, cukup membuat mata Hamdi meloto. Kira-kira mencapai ± Rp. 500.000. Dahinya mengkerut, seolah tidak percaya dengan apa yang sedang ia saksikan.

“Mata saya sempat lembab, dan bibir tak henti-henti mengucapkan kalimat
takbir, tahmid, dan tahlil, menyaksikan Kemahabesaran Allah ini,” ujarnya.

“Ini satu bukti, bahwa Allah tidak pernah mengingkari janji-janji-Nya, yang telah termaktub dalam al-Quran,” tambahnya dengan mata berkaca-kaca.

Dengan uang itulah, kemudian Hamdi mampu menjalankan amanah pimpinannya, tepat pada waktunya.

Bercita-Cita Menjadi Da’i

Hamdi adalah salah satu peserta yang mengikuti Kuliah Da’I Mandiri (KDM), yang dimobilisasi oleh Hidayatullah, di Palembang. Seusai mengikuti program tersebut, ia ditugaskan untuk berdakwah di Bengkulu. Ia sendiri berasal dari Lampung. Ia mengikuti pelatihan itu, atas rekomendasi dari salah satu ustadznya di Lampung.

Sejatinya, sudah lama ia merindukan untuk terjun langsung di dunia dakwah. Namun, niatnya tersebut sempat tersendat lantaran ada beberapa hal yang menghalanginya, untuk melaksanakan tugas para anbia’ ini, hingga tibalah tawaran menghampirinya guna ikutserta dalam program KDM.

Untuk menambah wawasan keislamannya, kini ia tengah serius menuntut ilmu di salah satu Perguruan Tinggi Islam, yang ada di Surabaya.
“Latar belakang saya sebagai siswa sekolah umum, yang jarang mendapat pengetahuan tentang keislamanlah, yang mengarahkanku untuk serius, menekuni ajaran Islam saat ini,” terangnya.

“Mudah-mudahan, kelak akan bermanfaat bagi diriku sendiri, keluarga, dan kaum muslimin pada umumnya,” harapnya. */
Robinsah. Kisah ini diceritakan langsung oleh yang bersangkutan/hidayatullah.com

Red: Cholis Akbar