Kisah ini adalah kisah nyata dari seorang akhwat bernama Ine. Semoga kita bisa mengambil hikmah dari kisah ini.
-----
Akhwat itu termenung, menatap surat didepannya. Selama berteman dan menjadi aktivis di masjid kampus tak pernah sekalipun ikhwan ini berkirim surat, dia mengingat-ingat. Mereka berteman biasa saja, sama-sama mencari ilmu, sama-sama berbagi ilmu, sama-sama berdakwah. Mereka memang akrab sama halnya dengan yang lain, dekat, penuh rasa persaudaraan meski tetap menjaga jarak karena walau bagaimanapun mereka adalah lawan jenis. Beberapa ikhwan/akhwat pernah ada yang menduga bahwa diantara mereka ada ’apa-apanya’, mungkin karena kedekatan atau menilai ada kecocokan (?) entah dalam hal apa… Mungkin iya, pernah muncul rasa simpati di hati masing-masing, tapi semuanya itu disimpan jauh di dasar hati. Masing-masing saling menyembunyikan dengan rapat.
Sekali lagi perempuan itu membaca surat digenggamannya. Isinya berupa curhat dari seorang ikhwan yang telah cukup lama dikenalnya itu.
“Kenapa surat ini ditujukan kepada saya..?” pikir akhwat tersebut.
“Apa karena saya dianggapnya sudah sangat dekat ?” batinnya lagi. “Ya, mungkin begitu..”
Isi surat tersebut :
Saya menyukai seorang akhwat (A, demikian awal curhatan pada surat tersebut. Tapi saya belum ada keberanian untuk mengungkap, disamping saya belum siap untuk menikah. Saya hanya memendam perasaan itu sampai tiba waktunya nanti.
Di tengah penantian dan persiapan itu ,tiba-tiba ada seorang akhwat lain (B) yang menawarkan dirinya untuk dinikahi. (Ikhwan tersebut menyebutkan nama akhwat yang menawarkan diri itu, ternyata akhwat tersebut adalah teman satu kampus yang sama-sama aktivis juga, tentu saja dikenalnya dengan baik. Tapi pernyataan penawaran diri itu, tak urung membuat perempuan pembaca surat itu sedikit kaget. Tak ada seorangpun di antara ikhwan akhwat/teman-temannya yang akan menduga, ia yakin itu. Dan ia berjanji akan menutupi hal ini rapat-rapat).
Hm… saya jadi bingung, harus bersikap bagaimana terhadap akhwat yang menawarkan diri tersebut. Saya tidak mau menyinggung dirinya atau merendahkan harga dirinya. Saya harus sangat hati-hati dalam menjawab dan menentukan pilhan.
Ikhwan itu melanjutkan curhatannya..
Lalu saya mencoba untuk beristikharah, memohon petunjuk kepada Yang Maha Tahu.
Setelah ke sekian kalinya shalat istikharah, Allah memberi petunjuk melalui mimpi. Di dalam mimpi itu (nampaknya) Allah menunjukkan seseorang yang akan menjadi istri saya adalah akhwat (C )..! Dia teman kuliah saya di kampus I , (Akhwat ini berbeda kampus dengan perempuan yang membaca surat ini, tapi dia kenal juga karena suka sama-sama ikut kajian ).
Saya harus bagaimana ukhti ? Saya tidak menduga akan seperti ini ? Saya tidak pernah sekalipun memikirkan akhwat (C) ini, kami hanya berteman biasa saja, ujar ikhwan tersebut kebingungan dalam suratnya. Perempuan itu sejenak membayangkan sosok akhwat C; tinggi, baik, shalehah. Beberapa kali dia pernah mabit bareng. Kelihatannya cocok juga, pikirnya sambil tersenyum sendiri.
Tapi setelah saya pertimbangkan baik buruknya, manfaat dan mudharatnya, barangkali saya akan memutuskan sesuai dengan petunjuk Allah. Meski berat bagi saya karena mungkin harus ‘menyakiti’ akhwat B dan mungkin juga ‘menyakiti’ hati saya sendiri dengan mengabaikan rencana dan rasa suka kepada akhwat A. Allah lebih mengetahui yang terbaik untuk saya. Saya mohon doanya ukhti ,agar saya ikhlas dalam menetapi hal ini. Karena saya belum sepenuhnya yakin dengan mimpi tersebut.
Hmm… suatu keputusan yang bijak dan tepat, gumam akhwat penerima surat sambil tersenyum lagi. Lalu surat itu dilipat kembali dengan rapi.
Waktu berlalu, aktivitas berjalan sebagaimana biasanya. Si ikhwan telah lulus, sementara yang akhwat masih penelitian. Komunikasi semakin jarang diantara mereka. Sampai suatu ketika ada seorang ikhwan lain yang melamar akhwat tersebut, dan mereka memutuskan untuk segera menikah. Undangan pun disebar termasuk kepada si ikhwan sahabatnya itu.
Menjelang pernikahan, datanglah surat ke dua dari si ikhwan. Dia minta maaf tidak bisa menghadiri pernikahan si akhwat karena suatu hal. Yang membuat si akhwat tertegun lagi (sama halnya dengan waktu membaca surat pertama dulu) adalah ada kata-kata "terimakasih". Terimakasih karena dia telah memutuskan untuk menikah dengan ikhwan lain sehingga si ikhwan sahabatnya itu menjadi lebih tenang dan kuat dalam tekadnya untuk pergi jauh ke pulau di seberang sana.
Belakangan, akhwat tersebut baru menyadari …
Duh, Rabbi… betapa tidak pekanya hati ini terhadap sinyal-sinyal itu.. ataukah ini kehendak-Mu ? Dan, betapa rapatnya si ikhwan menyimpan rasa, hingga tidak diketahui sedikitpun..
Akhwat tersebut baru sadar dan tahu bahwa yang dimaksud akhwat A dalam surat terdahulu itu adalah dirinya..! Betapa polos pikiran dan perasaannya saat itu, hanya ada keheranan sesaat tapi kemudian ditepisnya, serta tidak ada keinginan untuk bertanya, siapakah akhwat A yang dimaksud!? Surat itu pun samasekali tidak dibalasnya, hanya dibaca saja untuk diketahui apa isinya. Tidak ada dorongan untuk bertanya, tidak ada dorongan untuk membahas. Dibiarkan saja curhatan itu hanya sekedar curahan. Karena ikhwan itupun tidak pernah menyinggung lagi tentang isi surat.
Andai ikhwan itu tahu bahwa dulu di hatinya ada rasa yang sama?
Ah, dia tidak boleh berandai-andai. Apalagi sekarang dia telah bersiap untuk menikah dengan jodoh yang telah Allah tetapkan untuk dirinya. Insya Allah inilah yang terbaik. Dia siap meski belum mengenal secara dekat calon suaminya itu. Dia pasrahkan semua kepada yang Maha Mengatur.
Dia membayangkan, alangkah berat bagi sahabatnya (si ikhwan itu) untuk memutuskan sesuatu yang akan menentukan gerak langkahnya di kemudian hari. Ada pertimbangan rasa, ada pengorbanan hati, ada tuntutan keikhlasan dan keyakinan..
Selamat jalan, sahabat. Pergilah dengan tekad yang bulat dan tidak ada keraguan lagi sedikitpun. Aku mengikhlaskanmu.. semoga engkaupun mengikhlaskanku, doanya dalam hati sendu.
Kurang lebih satu tahun setelah itu, si akhwat mendengar kabar bahwa si ikhwan sahabatnya telah menikah dengan akhwat C, sesuai dengan petunjuk mimpinya dulu. Alhamdulillah.
Barakallahu laka wabaraka ‘alaika wa jama’a baina kuma fii khaiir..
Mengikuti apa yang Allah sarankan adalah jauh lebih baik dibanding mengikuti keinginan hati sendiri, meski berat pada mulanya..
"Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu, Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.” (Q.S. Al Baqarah [2] : 216)
Wallahu'alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar