Kamis, 28 April 2011

Hikmah dari Arifin Ilham: Menjaga Amanah

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul dan janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedangkan kamu mengetahui." (QS al-Anfal [8]: 27).

Ayat ini menegaskan syariat luhur bernama amanah. Berasal dari kata amuna, ya'munu, amanatan, amanah berarti jujur dan dapat dipercaya. Berkembang menjadi kata aminah yang berarti aman tenteram. Lalu muncul derivasi lain, 'aamanah', artinya 'saling percaya'. 

Dari gramatikal amanah ini lahir pemahaman bahwa kejujuran akan memberi rasa aman bagi semua pihak sehingga lahir rasa saling percaya. Saat seseorang memelihara amanah sama halnya dengan menjaga harga dirinya, sekaligus sebagai satu rumpun kata dan makna dengan 'iman'. Dari Anas bin Malik, Rasulullah SAW bersabda, "Tidak ada iman bagi yang tidak amanah (tidak jujur dan tak bisa dipercaya), dan tidak ada dien bagi yang tidak menepati janji." (HR Baihaqi).

Di antara indikator seseorang yang sukses dalam hidup adalah ketika dia mampu menjaga harkat dan martabat dirinya. Dan itu artinya ia cerdas mengelola amanah. Ia jujur dengan kata hatinya. Apa yang ada di hati ia ucapkan. Dan apa yang diucapkan, sudah ia pikirkan dan istiqamah untuk diamalkan. "Jika engkau miliki empat hal, engkau tidak akan rugi dalam urusan dunia: menjaga amanah, jujur dalam berkata, berakhlak baik, dan menjaga harga diri dalam (usaha, bekerja) mencari makan." (HR Ahmad).

Terkait dengan kebutuhan dunia yang serbamateri, agama kita tidak mengenal konsep "sense of material belonging", rasa memiliki dunia atau materi. Islam mendidik umatnya untuk memiliki "sense to be entrusted". rasa diamanahi. Semua materi yang ada pada dirinya bukan sama sekali miliknya, tapi titipan dan amanah dari Allah untuk dijaga. Karena, siapa pun yang mencoba mengakui milik-Nya akan berakhir mengenaskan. Cukuplah Firaun dan Qarun menjadi pelajaran buat kita.

Menjaga amanah memang berat, bahkan mahaberat. Makhluk langit, bumi, dan gunung pernah ditawari untuk mengemban amanah-Nya, tapi semua menolaknya. Semua makhluk Allah yang notabene jauh lebih besar dari makhluk manusia ini merasa berat dan sangat khawatir kalau nanti tidak akan kuat mengembannya. (QS al-Ahzab [33]: 72). Hanya manusia, yang sok merasa sanggup dan kuat mengemban amanah-Nya. Meski tidak sedikit yang lulus dan sanggup mengemban amanah-Nya seperti para nabi dan rasul dan orang-orang saleh yang telah dipilih oleh Allah.

Lalu, bagaimana kita bisa menjaga amanah? Laa mulkiyyah, we have but nothing. Sepertinya kita punya, tapi sebenarnya tidak punya apa apa. Tugas hidup ini mengakui semua mililk-Nya, lalu menggunakannya di jalan Allah dengan rasa syukur dan rendah hati (QS Ibrahim [14]: 7).

Sesungguhnya kita mengetahui bahwa segala bentuk penyelewengan yang dilakukan akhir-akhir ini, disebabkan rendahnya komitmen untuk menjaga amanah. Padahal, menjaga amanah itu bagian penting di dalam kehidupan ini. Andai kata negara ini dikelola dengan amanah, maka kesejahteraan masyarakatnya tentu sudah jauh lebih baik dari sekarang ini

Minggu, 17 April 2011

Menata Emosi


Oleh Amalia Larasati Oetomo

Dalam sebuah peperangan, suatu ketika Khalifah Ali ra berhasil membuat salah satu musuh terjengkang. Saat itu beliau sudah siap menghunus pedangnya untuk memenggal musuhnya. Namun, tiba-tiba sang musuh meludahi wajah Ali ra. Tanpa disangka, beliau tidak jadi membunuh musuh itu, dan pergi begitu saja. Sang musuh menjadi heran dan bertanya-tanya, "Wahai Ali, mengapa engkau tidak membunuhku?" Ali kemudian menjawab, "Aku takut membunuhmu bukan karena Allah, melainkan karena ludahmu yang membuatku marah."

Subhanallah, dengan segala kuasa-Nya, Ali ra memutuskan mengelola emosi negatif dengan berpikir jernih mengenai sebab dan akibat timbulnya rasa marah yang membara.

Menurut penulis buku Psychology of Adjustment, Eastwood Atwater, mengartikan emosi sebagai suatu kondisi kesadaran yang kompleks, mencakup sensasi di dalam diri dan ekspresi ke luar yang memiliki kekuatan memotivasi untuk bertindak.  Emosi terdiri atas emosi positif dan emosi negatif. Gembira, heran, dan takjub adalah bagian dari emosi negatif. Sedangkan marah, benci, ngeri, sedih adalah bagian dari emosi negatif.

Emosi negatif kadang kala menyergap di saat amarah tak tertahan meliputi dengan ganas. Bila hawa amarah telanjur menguasai, maka bersiaplah menghadapi kehancuran diri. Nafsu amarah yang tak terkendali dapat membutakan segala perilaku menjadi di luar ambang batas kenormalan. Sehingga, yang tampak adalah sisi lain kepribadian yang bisa saja menjatuhkan kredibilitas dan martabat seseorang.

Tidak sedikit para petinggi negara jatuh seketika akibat kelalaiannya dalam menata emosi. Bahkan, banyak pula para tokoh budiman yang awalnya disegani menjadi dibenci karena sering lupa menata emosi. Setelah terpuruk, baru menyesal atas segala peristiwa yang telah terjadi.

Padahal, Allah SWT memberikan jaminan yang baik di surga bagi orang yang dapat mengendalikan amarah. Rasulullah SAW bersabda, “Ada tiga hal yang jika seseorang melakukannya, Allah akan menempatkannya di dalam naungan-Nya, mencurahkan rahmat-Nya, dan memasukkannya ke dalam surga-Nya, yaitu jika diberi rezeki ia bersyukur, jika mampu membalas, ia bisa memberi maaf dan jika marah ia bisa menahannya.”

“Tidaklah seorang hamba menahan kemarahan karena Allah SWT kecuali akan memenuhi baginya keamanan dan keimanan.” (HR Abu Dawud dengan sanad Hasan).

Amarah adalah salah satu emosi negatif yang perlu diwaspadai, maka dibutuhkan pengendalian diri agar emosi dapat dikelola dengan baik sehingga amarah tidak menjalar merasuki.

Emosi yang tidak terkendali adalah media ampuh bagi setan untuk mengendalikan manusia. Sesungguhnya marah digerakkan oleh setan yang terbuat dari api dan api dipadamkan oleh air. Siapa pun yang sedang marah, segera berwudhu. Wallahu a'lam bishshawab.

Penyakit Hati


Oleh: Nasrullah Nurdin


Ada satu pepatah Arab meyebutkan: Likulli dzi ni'matin mahsudun. Kalimat ini memiliki semantikal bahwa setiap orang yang diberi nikmat pasti ada saja yang tidak suka. Dengan kata lain, seseorang akan hasud bila ada temannya yang mendapatkan kebahagiaan. Begitu sebaliknya, ia merasa bahagia apabila temannya mendapatkan kesusahan.

Dengki atau merasa iri hati pada orang lain merupakan salah satu penyakit hati yang sangat berbahaya, sampai-sampai dalam sebuah hadis Nabi SAW ditegaskan bahwa penyakit ini dapat menghapuskan amal-amal baik kita laksana api yang memakan kayu bakar. (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah).

Dalam hidup ini, kita dituntut bersyukur atas segala limpahan kurnia yang telah Allah SWT anugerahkan kepada kita. Perintah itu termaktub dalam firman-Nya, "Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan, 'Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih'." (QS Ibrahim [14] : 7).

Berlandaskan kalam Ilahi tersebut, sudah sepatutnya kita mensyukuri apa pun yang kita miliki, dengan meminjam istilah motivator kenamaan Mario Teguh, mensyukuri dan bahagia dengan apa adanya kita. Bahagia dan kesedihan (kesulitan) dalam hidup ini harus kita terima dan kita jalani dengan senang hati. Rasulullah mengajarkan dalam masalah dunia kita harus melihat ke bawah, karena sangat dimungkinkan masih banyak saudara-saudara kita yang potret kehidupannya masih terpuruk di bawah kita. Sedangkan untuk masalah akhirat, kita diperintahkan untuk melihat ke atas demi merangsang kita dalam melakukan amal ibadah kepada Allah SWT. Kita harus mengukur kualitas ibadah kita dengan orang lain, agar semakin mendekatkan diri pada-Nya.

Penyakit iri adalah penyakit rohani yang harus dibuang jauh-jauh dalam diri kita. Penyakit rohani ini lebih berbahaya dari penyakit jasmani. Oleh karena itu, sebelum "virus hati" ini semakin parah dalam menggerogoti hati kita, maka sedini mungkin kita harus memiliki "anti virus" yang ampuh untuk menghilangkannya.

Pertama, bersyukur kepada Allah SWT atas nikmat yang telah diberi-Nya, seperti yang telah dipaparkan di atas. Kedua, selalu berzikir kepada Sang Khalik. Zikir bisa dilakukan dalam beberapa keadaan, baik ramai maupun sepi.

Dengan melantukan kalimah toyyibah diharapkan perasaan iri hati ini lenyap dari hati kita dan diganti dengan rasa ketenangan.

Karena zikir adalah bentuk psikoterapi yang dapat digunakan sebagai terapi dahsyat untuk menyembuhkan berbagai penyakit rohani. Allah berfirman, "(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allahlah hati menjadi tenteram." (ar-Ra'd [13] : 28).

Jumat, 15 April 2011

Melepas Amarah Menjadi Doa


Oleh Mamah Hikmatussa'adah
Kota tercintaku pagi ini diliputi kesejukan. Setelah semalam diguyur hujan, meski awan menampakan kekuatannya namu sang bayu mendampingi dengan setia. Sehingga rasa panas itu berubah menjadi sejuk.
Seperti biasa, rutinitasku dari hari ke hari adalah sama. Jikalau pun ada yang berubah, itu memang sudah kehendak dari Nya. Seperti hari ini, di ruang kerjaku. Saat ku duduk di depan laptopku sembari menyelesaikan tugas yang harus ku print, aku menangkap raut sedih milik seseorang. Rupanya sahabatku itu sedang dirundung masalah.
Iseng aku bertanya “kenapa dirimu? Kok tidak bersemangat.”
“Iya mbak, lagi jengkel.” Ujarnya ketus.
“Jengkel kenapa?” tanyaku penasaran.
“Aku jengkel mbak karena orang-orang di sekitarku menilai akulah penyebab terjadinya berita ini menyebar!” tambahnya dengan nada kesal.
“Sabar ya, mungkin karena mereka tidak tahu posisimu yang sebenarnya dalam situasi ini, jadi mereka begitu.” Tambahku menenangkan.
“Iya mbak. Semoga cepat mereda berita ini.” Ujarnya lirih.
***
Terkadang tanpa kita sadari, perasaan bernama prasangka itu selalu ada dalam diri kita. Sifat baik atau buruk prasangka itu hanya kita yang bisa membedakannya. Kejadian yang menimpa sahabatku ini hanya segelintir kejadian kecil yang bisa menimpa siapa pun akibat prasangka kita. Aku semakin tersadar, dari organ tubuh bernama hati terlahir sebuah prasangka, entah baik atau buruk. Kemudian hati akan bekerja sama dengan si mungil lisan, yang akan menyampaikan prasangka itu kepada banyak pihak, entah pihak yang berkepentingan atau tidak.
Astaghfirulloh.
Adakah hal yang lebih baik dari sikap diam. Aku merasa diam memang emas. Jika posisi kita adalah orang yang tidak tahu apa-apa tentang hal yang terjadi di sekitar kita. Atau jika kita punya nyali besar, lebih baik tanyakanlah langsung kepada si empunya yang bersangkutan. Agar tidak timbul masalah lain di luar hal tersebut.
Dan akhirnya aku pun menyarankan pada diri ini untuk bisa menjaga hati dan lisan lebih kuat lagi. Serta belajar melepas amarah menjadi doa. Berdoa semoga Alloh mengampuni segala dosa yang telah diperbuat saudara-saudara kita, berdoa memohon kebaikan untuk mereka seperti Rasulullah SAW yang selalu mencontohkan demikian. Berdoa pula agar aku bisa melewati setiap titian ujianNya yang panjang dan penuh liku ini untuk sampai di surgaNya kelak.

Makna sebuah Kelulusan


Oleh Fachria
“Selamat Saudari Dinyatakan Lulus!” Subhanallah walhamdulillah, yaa mungkin hanya kata itu yang bisa menggambarkan betapa mengesankannya kelulusanku kali ini. Lulus? Biasa aja kale, toh banyak mahasiswa yang lulus. Wow ada yang membuat ujianku berbeda dengan mahasiswa yang lain karena ujianku bukan sekedar ujian akademik tapi juga ujian memaknai kehidupan, yaa bisa juga dikatakan uji nyali.
Bagaimana tidak mengesankan karena sebelumnya aku terancam tidak bisa lulus. Bukan karena masalah IPK atau masalah nilai tapi karena sebuah kesalahpahaman antara aku dan ketua program, katanya sih karena ada sebuah prosedur yang aku langkahi dan peraturan yang aku langgar.
Semua berawal dari kepergianku selama 3 hari menjadi relawan ke Yogya pada saat aku melaksanakan PKL dan hanya meminta izin ke tempat PKL. Terbilang nekat tapi kenekatanku ini pun ada pertimbangannya karena diperjanjian internship dikatakan diperbolehkan izin selama 3 hari. Ternyata Wow, dahsyat efeknya dan melibatkan banyak pihak bahkan organisasi profesi pun terlibat.
“Kamu ini bagaimana sih, ya saya yakin kamu ini punya kepedulian dan bagi saya itu baik tapi ada saatnya kan, enggak mesti sekarang di mana kamu ada diakhir dari awal hidup kamu dan sikap semau kamu malah menghancurkan hidup kamu. Bagi saya lebih baik saya menghadapi pertanyaan para dosen, kok bisa seorang seperti kamu tidak bisa lulus, daripada saya melemahkan aturan itu, biar jadi pelajaran buat yang lain. Bagi saya tidak ada kata maaf dan kamu saya anggap tidak menghadap saya,” kurang lebih itulah perkataan ketua program yang membuatku Innalillahi, semuanya terkembali pada-Mu ya Rabb.
Keluar dari ruang ketua program, sambil menarik nafaspppffh kukatakan pada temanku yang ikut juga ke yogya bahwa “bapak marah banget dan tak ada kata maaf, dia mengancam tidak lulus, tapi ini salahpaham pasti ada jalan keluarnya.” Sebenarnya aku sudah ada pada posisi paling siap menerima apapun keputusannya. Allah tujuanku, kalau ketika kuberangkat ke yogya tidak ada satu pun yang aku temukan kecuali kemudahan maka sepulang dari sana pun aku yakin Dia Al-Hafiiz tidak akan menyia-nyiakanku, pasti Dia punya rencana besar dibalik ini semua, bukankah hanya hamba terpilih yang akan diuji dan hamba terpilih itu adalah kami. Tapi ketegaran itu tergoyahkan ketika ku melihat wajah kedua temanku, sedih sendu, kulihat airmata yang tertahan pada mata sahabatku bahkan salahsatunya tak kuasa menahan airmatanya. Ya Allah ini semua membuatku merasa bersalah, akulah yang mengajak mereka, aku harus bertanggungjawab atas mereka, seandainya tidak lulus adalah hukumannya maka biar aku saja yang tidak lulus karena akulah playmaker nya.
Kuputar otakku, ku coba berfikir mencari jalan dan pendekatan apa yang bisa kulakukan. Sebenarnya banyak dosen yang bisa kumintai pembelaan tapi ini adalah masalahku, ku tak ingin memperluas permasalahan. Hanya 5 hari waktu yang kupunya untuk menyelesaikan masalah ini karena segera akan diadakan ujian tertulis. Ketika ku sedang berfikir untuk mencari solusi, tiba-tiba teman-teman kepanitian menghampiriku “Ya ampyun, dari tadi dicariin ternyata di sini, kenapa lo sakit, diem aja tumben amat, ini nih ada masalah masa bla bla bla, gimana dong?” dan banyak dari mereka yang mengeluh. Pfffh ya Allah tarbiyah apa yang hendak Kau ajarkan kepadaku, ketika ku bermasalah dan ku berdoa mohon kekuatan, Kau malah memberikanku masalah lain.
Emosiku mulai kacau pada hari itu, syaitan mulai mengagresiku dan ketidakikhlasan menghampiriku. Aah udahlah ngapain sih mikirin tentang seminar, toh bapak mengancam aku gak bisa lulus, dan bapak tidak mempertimbangkan terhadap apa yang telah aku perbuat untuk jurusan selama ini dan hanya karena sebuah kesalahpahaman aku divonis dengan hukuman yang tidak adil. Sepertinya aku mau menyerah saja, Ya Rabb rasanya hamba tak sanggup, apalagi ketika mendengar teman panitia berkata “Ya udah lo aja ya yang menghadap bapak sekarang dan jelasin semua masalah seminar kita”. Hah!! Bagaimana mungkin aku harus menghadap seorang yang tadi pagi marah besar denganku dan aku harus memberitahunya tentang masalah yang dihadapi kepanitian, kemarahan kayak gimana lagi yang akan dia tunjukkan. Ingin rasanya kutunjukkan ketidaksanggupanku, tapi aku bukanlah pengecut karena aku punya Engkau ya Muhaimin dan kuserahkan semuanya kepadaMu, ibarat orang yang telah tercebur hanya ada dua pilihan berenang atau tenggelam.
Akhirnya kuberanikan diri untuk menghadap, melihat wajahku lagi, sudah jelas ekspresi apa yang bapak tunjukkan, yups marah, bete, kesal, tidak senang dan sejenisnya. Apalagi ketika kuceritakan tentang masalah seminar. “Kalian gimana sih, jangan main-main ya, ini tingkatnya nasional loh bla bla,” begitulah bentak bapak dengan nada tinggi. “Jadi begini pak bla bla bla,” entah darimana kudapatkan kekuatan untuk bisa menjelaskan, pasti dari Engkau duhai Al-Latiif. Tak terasa lebih dari 3 jam aku berada diruangannya dan terakhir ku sadar bahwa perbincangan tidak lagi seputar seminar tapi berbagi kisah bagaimana menjalani hidup untuk bisa menjadi orang hebat yang bijak.
Subhanallah seiring waktu kesalahpahaman ini pun bisa terselesaikan dan tak pernah terfikir olehku bahwa masalah yang menambah masalahku itu ternyata adalah jalan keluarnya. Teringat sebuah syair 'History of a Prayer', yang berbunyi “Ketika Kumohon pada ALLAH Kekuatan, ALLAH memberiku kondisi bahaya untuk kuatasi!”
Kini sangat manis kelulusan itu terasa olehku dan yang lebih manis lagi adalah tarbiyah yang kudapat dari hikmah permasalahan ini. Dan inilah yang Allah hendak ajarkan kepadaku:
In Times of difficulties don’t ever say “God, I have a big problem”
But instead, “Hi Problem, I have a big God and everything will be alright”
Aah tak sabar rasanya segera mengenakan baju toga, mendapat penghargaan rektor sebagai wisudawan cumlaude termuda. Aku sangat bersyukur disaat sebagian besar teman-temanku sibuk mencari pekerjaan, disaat aku belum diwisuda, sebuah perusahaan asing sudah menerimaku sebagai karyawan dengan gaji dan fasilitas jauh di atas standar teman-temanku. Ya Allah terimakasih ini adalah hadiah yang sangat indah untukku, dibalik semua masalah ini tersimpan rapi sebuah rencana dahsyat, dan membuat semua nikmat ini menjadi lebih manis dan indah. Teringat sebuah nasehat tentang resep kehidupan: Jika Kamu Bersyukur Maka ALLAH Tambahkan, Jika Kamu Berserah Maka ALLAH Lapangkan. Dan Subhanallah resep itu terbukti manjur untukku. Thanks Rabb for My Beautiful Life.

Senin, 11 April 2011

Bantulah Hajat Saudaramu dan Sembunyikan Aibnya

Bahkan, ketika Allah menegur kita karena sebuah maksiat, kadang teguran itu tidak datang langsung, melainkan ALlah menegur orang lain yang kemaksiatannya mirip dengan yang kita lakukan

Kawans disaat ghibah dan namimah sudah menjadi tontonan massal bahkan menjadi bisnis, (bayangkan, selain infotainment gossip artis gak jelas, sekarang juga sudah merambah ke dunia politik)

maka cukuplah bagi kita semuah hadits dibawah ini,

Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar RA, "Muslim itu saudara(nya) muslim. Ia tidak boleh menzaliminya dan tidak boleh menyerahkannya ke tangan musuh. Barangsiapa yang berkenan memenuhi hajat kebutuhan saudaranya, maka Allah pasti memenuhi hajatnya. Barangsiapa melepaskan suatu kesulitan muslim, maka Allah akan melepaskan darinya salah satu kesulitannya pada hari kiamat. Dan barangsiapa yang menutupi (aib) muslim, maka Allah akan menutupi (aib)nya pada hari kiamat." (Bukhari no. 2442 dan Muslim no. 2580)

Rasulullah saw.bersabda, "Barangsiapa yang melepaskan suatu kesusahan seroang mukmin di antara berbagai kesusahan dunia, maka Allah akan melepaskan darinya salah satu di antara berbagai kesulitan pada hari kiamat. Barangsiapa yang memudahkan orang yang mendapatkan kesulitan, maka Allah akan memberikan kemudahan baginya di dunia dan akhirat. Dan barangsiapa yang menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan menutup aibnya di dunia dan akhirat. Dan Allah itu akan selalu membantu hamba jika ia mau membantu saudaranya. Dan barangsiapa yang menempuh jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan untuk menujusurga. Tidak ada suatu kaum yang berkumpul di salah satu rumah Allah seraya membaca kitab Allah -Al-Qur'an-dan mereka mempelajari Al-Qur'an tersebut kecuali akan turun kepada mereka ketenangan dan mereka pun akan diliputi rahmat Allah serta mereka akan diliputi malaikan, bahkan Allah pun akan menyebut-nyebut mereka di hadapan makhluk lain disisi-Nya. Serta, barangsiapa yang menangguhkan amal ibadahnya, maka tidak akan dipercepat keturunannya. (Muslim no. 2699)

Lalu bagaimana bila aib itu sudah tersebar, apa yang kita lakukan :

Kutipan dari Madarijus Salikin, Ibnul Qayyim al-Jauziyah


"Janganlah kamu menampakkan kegembiraan terhadap kejelekan (kesusahan) orang lain, karena boleh jadi Allah akan menyayangi dia dan mengujimu."

Sesungguhnya jika engkau tidur malam dan paginya merasa menyesal terhadap kejelekan-kejelekanmu, itu lebih baik daripada kalau engkau menunaikan shalat malam tetapi pagi harinya merasa ujub, karena amal orang yang ujub tidak akan naik kepada Allah. Engkau tertawa sambil mengakui dosamu lebih baik daripada engkau menangis tetapi bersikap mentang-mentang, bermegah diri dengan amalan. Ratap tangis orang-orang yang berdosa lebih dicintai Allah daripada riuh rendahnya suara orang-orang yang bertasbih tetapi membanggakan diri / kelompok. Barangkali dengan dosanya (yang disesalinya) ini Allah meminumkan obat kepadanya untuk mengeluarkan penyakit yang mematikan yang kini ada pada dirimu tetapi engkau tidak merasa.

Minggu, 10 April 2011

Rapuhnya Manusia dan Perlindungan-Nya

Oleh Muhammad Rizqon
Terpaan arus fitnah saat ini yang cukup deras, membuat seorang ibu bernama Nur diliputi rasa resah, gelisah, dan gamang akan nasib anak-anaknya di hari depan.
“Bi, kayaknya kita mesti membuat rencana dech, anak-anak kita mau di sekolahin dimana kelak. Kondisi lingkungan makin tidak kondusif dengan perkembangan jiwa anak. Jika anak kita kurang pendidikan agamanya, khawatir terjerumus ke pergaulan yang tidak baik...”
Abi yang ditanya mengiyakan dengan perasaan biasa saja, seakan tidak ada kekhawatiran sebagaimana di alami isterinya. Dia sudah bisa menebak keinginan isterinya, yaitu menyekolahkan anak ke sekolah/pesantren Islam terpadu yang akan cukup menyedot keuangan rumah tangga.
Di lain waktu, sang isteri khawatir ketika anaknya sudah mulai suka berkunjung ke warnet. Masalahnya bukan tidak percaya bahwa sang anak hanya akan membuka konten-konten yang baik sesuai petuahnya, akan tetapi sang isteri khawatir dengan pengunjung-pengunjung dewasa yang bisa saja memiliki niat jahat menjerumuskan anak-anak dengan tayangan video asusila atau Narkoba. Demi menjaga kemungkinan buruk, Sang Abi pun pada akhirnya berlangganan internet di rumah agar akses anak ke internet bisa dikontrol dan tidak harus berbaur dengan komunitas yang tidak jelas.
Saat menonton TV pun, seringkali Ibu Nur khawatir dengan tayangan-tayangan yang selalu saja dirasa ada efek negatifnya buat anak. Jika sudah demikian, mulailah dia berteriak:
“Ganti Nak..! Ganti berita saja..!” atau dia mengatakan,”Nak, itu kan tontonan orang dewasa, cari yang lain dech..!”
Terkadang, setelah bolak-balik memindah channel, saking bingungnya karena tidak ada tayangan yang pas, pada akhirnya dia berkata, “Nak, itu ngga bagus! Ayo matikan saja! Sudah ga ada yang bagus!”
Di lingkungan sekitar pun, kondisi real tidak kalah dahsyat dengan kondisi di TV. Pacaran sudah membudaya, di jalan sering berseliweran gadis-gadis dengan rok mini dan tampilan menggoda, banyak anak yang kena Narkoba, banyak gadis-gadis yang hamil di luar nikah, sedikit sekali remaja/orang tua yang sholat lima waktu, sedikit sekali yang bisa baca Qur'an dan...ah rasanya banyak sekali realita yang jauh dari kondisi normatifnya. Wajar rasanya seorang ibu yang menaruh peduli seperti Ibu Nur, bergejolak batinnya, seakan berada di penjara keburukan yang menyesakkan nuraninya.
Adakah harapan di tengah keputusasaan seperti itu? Jika dipikir, sungguh amat berat kondisi dirasa saat ini. Nabi Muhammad SAW dulu menempuh cara hijrah ke lokasi yang kondusif bagi perkembangan dakwah dan memungkinan beliau dan ummatnya berada dalam kondisi yang lebih baik. Apakah keluarga Ibu Nur harus berhijrah pula? Ke mana? Untuk hijrah ke kampung pun bukanlah jaminan bahwa sang anak akan mendapatkan pendidikan yang bagus. Kemaksiyatan sudah menyebar ke penjuru negeri. Dengan era informasi, dominasi pengetahuan tidak hanya berada di kota, tetapi merata sampai ke daerah-daerah. Bahkan boleh jadi mereka yang di kampung lebih tahu kondisi tertentu dibanding masyarakat kota.
Ataukah harus mengirim anak ke pesantren yang mana akses internetnya di batasi atau pihak pesantren melarang anak didik menjalin pertemanan di dunia maya? Ah apakah itu jaminan? Sebagai upaya boleh saja hal itu dijadikan alternatif. Namun bila mengingat anak tetangga yang dulunya di pesantren baik banget namun setelah keluar jadi tidak terkontrol, ibu Nur menjadi gamang . Jadi mesti bagaimana?
***
Musibah tsunami di Jepang cukup memberikan pelajaran baginya. Jepang adalah negara yang cukup expert dalam hal mengantisipasi dampak gempa dan tsunami. Namun toh serangan tsunami pasca gempa dengan skala 8,8 SR tanggal 11 Maret 2011 lalu, mampu memporak porandakan kota Miyagi dan mengancam reaktor nuklir Fukushima. Ribuan korban berjatuhan dan banyak harta benda yang musnah binasa. Jepang yang perkasa ternyata bisa terkena dampak gempa dan tsunami juga...begitulah pikir sebagian orang.
Berita-berita politik dalam negeri pun cukup memberikan pelajaran, siapa sangka bahwa ternyata tokoh-tokoh yang selama ini dikenal superior dan gentlemen, ternyata terjerembab dalam lembah kenistaan.
Hikmah yang bisa dipetik adalah bahwa musibah, kecelakaan, kenistaan, keterjerembaban, kesalahan, kelalaian, kekurangan, dan segala atribut negatif lainnya, adalah KENISCAYAAN bagi manusia karenahakikat manusia adalah penuh dengan kelemahan dan kerapuhan. Hanya dengan pertolongan Allah SWT manusia menjadi kuat dan selamat. Jepang tetaplah lemah, kehendak Allah lah yang bisa menjadikan jepang tetap superior. Politisi dan pejabat publik tetaplah manusia yang lemah dan rapuh. Manakala Allah dilupakan dan syariatnya dilanggar, maka Allah pun tidak lagi memberikan perlindungan-Nya sehingga dia pun terjerembab.
Berkait dengan kegamangan akan nasib anak di masa depan, kita selaku orang tua maupun guru, tetaplah manusia yang lemah dan rapuh.Pemilihan sistem pendidikan adalah upaya yang sifatnya kondisional. Sistem pendidikan dari orang tua adalah sumbernya. Dan jika ditelusur adalah bersumber dari wahyu Ilahi dan teladan nabi sebagai kurikulumnya. Orang tua sebagai guru utama hendaknya berjalan sesuai dengan sumber itu.
Namun jika mereka melupakan Allah, bisa jadi Allah tidak memberikan perlindungan dari terpaan fitnah yang amat deras. Terlibatnya anak dalam pergaulan bebas, anak susah diatur, anak terlibat Narkoba, anak perperilaku buruk, adalah sebagian bukti bahwa perlindungan Allah SWT lepas dari genggaman mereka.
***
suatu ketika Ibu Nur bertemu dengan ibu Nunik dan terjadilah percakapan diantara keduanya,
“Mba, anak-anak disekolahin dimana?” Tanya ibu Nur.
“Anak-anak saya semua sekolah di negeri Mba Nur.”
“Mba Nunik ngga khawatir bahwa pendidikan di negeri itu sangat kurang, gurunya kurang kontrol?”
“Kalau saya sih, pendidikan di mana pun sama saja. Semua akan berpulang ke pendidikan orang tuanya di rumah. Jadi ya kita mesti mengimbanginya. Jika kurang pendidikan Quran, kita ajari anak kita dengan Quran. Jika kurang agamanya, ya kita didik dia agamanya, jika kurang mandiri ya kita latih kemandirian dia di rumah.”
Apa yang dilontarkan ibu Nunik itu adalah sebagian dari penjabaran dari pepatah Al Umm Al Madrasatun (seorang ibu adalah sekolah bagi anaknya). Sangat sedikit ibu yang memiliki pemikiran seperti itu.
Menyekolahkan anak ke sekolah yang bagus adalah salah satu upaya dan boleh-boleh saja. Bahkan jika orang tua memiliki dana lebih, sudah selayaknya mengupayakannya ke sana. Namun fokus dan tumpuan harapan hendaklah tetap dibebankan kepada ibu (orang tua). Dari ibulah lahir generasi yang selamat, terutama bagi ibu yang ikhlas dan bisa memberikan teladan yang baik. Ibu yang berjiwa Ikhlas sangat menyadari dan sadar sepenuhnya bahwa hitam putihnya sang anak adalah dalam genggaman-Nya. Oleh karenanya seorang ibu (orang tua) pantang berhenti berdoa, bermohon, berlindung, dan berharap dibalik ikhtiarnya yang sempurna. Setitik kesombongan dan kelalaian bisa menjerumuskan nasib sang anak menuju kehancuran.Pertanyaan yang relevan, sudah sekuat apakah orang tua dengan tulus memohon perlindungan-Nya?
Ikhlas menolong agama Allah, merendahkan diri dihadapan-Nya dengan doa-doa perlindungan, dan menjadikan Allah SWT sebagai sumber kekuatan, adalah sebagian dari jalan-jalan menuju keselamatan.
Semoga Allah menyelamatkan kita dari musibah dan fitnah yang membinasakan. Semoga Allah menunjukkan jalan agar kita selalu memohon perlindungan-Nya. Wallahua’lam

Ketika Sang Idola Membuat Kecewa

Oleh Nurudin
Jangan melihat siapa yang membicarakan, tapi lihatlah apa yang dibicarakan. Mungkin pesan bijak inilah yang perlu kita perhatikan dalam menghadapi suatu masalah sebelum komentar. Bersikap objektif dalam menerima dan memberikan respon tanpa harus melibatkan ego yang terkadang justru memancing emosi.
Sebuah telur, (maaf) meski keluar dari dubur binatang, dia tetaplah telur yang kita sukai karena manfaatnya. Sebaliknya, meski keluar dari mulut seorang yang dianggap tinggi, terpandang atau mulia sekalipun, tidak ada seorangpun yang mau menerima muntahannya. Seekor ayam, meski dia hanyalah hewan yang derajatnya lebih rendah dari manusia, seringkali memakan sampah, kotoran, bergonta-ganti pasangan, namun tetaplah ketika dia mengeluarkan telur, kita semua setuju, itu semua tidak mengurangi manfaat dari telur itu sendiri. Seorang tokoh terpandang, dianggap mulia, ketika dia mengeluarkan ucapan-ucapan kotor, bertentangan dengan norma-norma susila, agama, apakah lantas kita membenarkannya lantaran yang mengucapkannya orang yang kita hormati, kita segani? Tentu saja tidak.
Kita seringkali menempatkan seseorang sebagai tokoh idola kita, entah karena profesinya, kepintarannya atau juga karena fisiknya yang kita anggap lebih dari kita dan bisa kita jadikan sebagai acuan untuk langkah kita menjalani kehidupan sehari-hari. Ucapan, gaya hidup dan segala yang ada pada tokoh idola kita sedikit banyak membawa pengaruh dalam kehidupan kita.
Mengagumi seorang tokoh sampai kepada mengidolakan, secara berlebihan bisa menyebabkan kekaguman yang membabi buta sehingga seringkali mengakibatkan kita menjadi subjektif dalam menyikapi satu permasalahan. Manakala sang idola masih kita puja-puja, segala tutur kata yang dia keluarkan seolah semua menjadi benar dan perlu bahkan wajib untuk kita ikuti, segala gaya hidup dan tingkah laku menjadi tolak ukur dan patokan untuk kehidupan sehari-hari.
Namun Ketika sang idola melakukan satu keputusan, atau tindakan atau kebijakan yang tidak sesuai dengan hati kita (dan memang tidak selamanya harus sesuai ) maka muncullah sifat arogan kita, yang kemudian merubah kekaguman itu menjadi kebencian.Dari yang semula ucapan penuh pujian tiba-tiba berubah menjadi cacian dan hujatan yang bertubi-tubi tertuju pada sang idola padahal belum tentu itu kesalahan sang idola. Bisa jadi tindakan sang idola itu wajar-wajar saja, manusiawi bahkan tidak bertentangan dengan aturan manapun, tetapi terkadang kebenaran memang tidak bisa langsung diterima khususnya bagi yang belum mengerti dan memahaminya. Rasa simpatik berganti menjadi permusuhan atau paling tidak hilang sudah, bahkan sifat oragan mengantarkan kita pada hujatan-hujatan yang merendahkan, seolah-olah kita jauh lebih mulia dari orang yang kita hujat.
Pernahkan kita berfikir, manakala sang idola begitu kita percaya, kita kagumi bukan saja karena kepribadiannya, kesopanannya, kesantunannya namun karena nasihat yang memang benar adanya, sejauh mana kita bisa mengikuti, melaksanakan nasihat-nasihatnya? Bisa jadi baru sebagian kecil dari nasihat-nasihatnya yang kita pahami, kita laksanakan, atau bahkan baru kita dengarkan saja. Berbagai keterbatasan menjadi alasan kita membenarkan diri untuk tidak mengikuti nasihatnya. Tapi ketika kita tidak setuju dengan pilihan sang idola, kita berubah menjadi penghujat yang seolah-olah jauh lebih mulia. Kita begitu senangnya mengeluarkan statemen-statemen yang memojokan.
Terlepas dari benar tidaknya pilihan sang idola, terkadang kita lupa bahwa seorang yang kita idolakan itu hanyalah seorang manusia biasa, sama seperti kita, penuh dengan khilaf dan dosa. Bisa saja pilihannya salah, namun bisa saja benar, hanya saja justu kita yang belum memahami serta terlalu banyak berharap dan menuntut dari sang idola.
Sebenarnya apabila kita ingin mengidolakan seseorang, tidak ada satu manusiapun yang patut untuk kita jadikan idola selain Rosululloh SAW, satu-satunya manusia paling mulia, baik dimata Allah maupun di mata makhluk. Ada satu jaminan bahwa apabila kita mengidolakan Rosululloh SAW, tidak ada kekecewaan dan kekeliaruan. Tidak ada keraguan akan mulianya akhlak beliau. Tidak ada kesesatan selama kita mengikuti jejak langkahnya. Tidak ada permusuhan selama kita ikuti nasihat-nasihatnya. Tidak ada kebencian selama kita istiqomah di belakangnya. Beliaulah manusia yang memiliki akhlak Al-Qur’an. Beliaulah manusia yang patut dan sudah seharusnya menjadi idola sejati kita, bukan mereka yang memiliki suara bagus, rupa yang menawan, prestasi yang tinggi, karir yang mapan, yang sebenarnya masih ada kesamaan dengan kita yaitu tidak pernah lepas dari khilaf dan dosa.

"Jomblo"

“Nama saya Siska, umur 32 tahun dan belum menikah,” senyum Siska percaya diri dihadapan beberapa manajer dari berbagai kantor cabang dalam sebuah rapat besar marketing yang diselenggrakan setahun sekali. Kali ini pun rapat tahunan tersebut diselenggarakan di Yogyakarta.

“Kenalkan sis, ini Dino, salah satu wakil manajer marketing dari bandung,” Sari, salah seorang sekretaris di kantor Dina yang juga merupakan kawan karib Dina mengenalkan seorang pria berbadan kurus berkacamata yang tersenyum dengan dua buah gigi depan maju sedikit.

“Dino..” sang pria menganggukkan kepalanya sambil tersenyum pada Siska. Namun Siska menolak mengulurkan tangannya. ”Akh biar saja, aku kan pakai jilbab, dia harus tahu dong bahwa wanita muslimah gak boleh salaman” ujar Siska dalam hati. Ketika Siska memiliki pemikiran seperti itu, raut wajahnya menjadi agak keras dan kaku, senyumnya pun terpaksa nampak berurai di wajah Siska.

Tak lama mereka bertiga terlibat dalam pembicaraan yang menurut Siska membosankan, dia hanya menjawab ya dan tidak saja, serta sebentar-sebentar melirik jam tangannya. “Sorry ya.. Sar, aku ke toilet dulu, mari mas saya duluan..” Siska kemudian berlalu dengan memberi alasan yang dianggapnya masuk akal.

Petang hari setelah acara meeting yang melelahkan itu selesai, Sari dengan wajah cemberut menegur Siska, “kau gimana sih Sis, jangan sombong dan terlalu jual mahal gitu dong, aku kan mau kenalkan kamu dengan Dino, memang wajahnya biasa saja, namun kariernya, ini nih.. (Sari menepuk dahinya sendiri), cerdas.. orangnya juga baik hati dan aku lihat cukup rajin kok sholat dan…”,“Sudahlah Sar,” potong Siska sebal, “aku kan bukan anak kecil lagi yang harus diatur dengan siapa aku harus berkenalan,” Siska menyahut sambil berlalu. “Ukhh, susah sis, kalau kamu sok kayak gitu, gak ada lelaki yang bakalan mau jadi suami kamu, dan kamu akan jomblo seumur hidup lho,” Sari menyumpah dengan kesal.

Niat Sari memang baik, mengenalkan Siska dengan seorang pria agar Siska bisa menyudahi masa lajangnya. Niat baik selalu ada di mana-mana buat gadis manis seperti Siska. Mulai dari ibunya yang mengenalkan Siska dengan anak-anak kawan arisannya, juga niat baik dari paman Adi dan bibinya, yang bulan ini akan menikahkan anaknya. Dalam acara rapat pernikahan anaknya paman Adi, yang dikenal dengan Ririn, sepupu Siska yang usianya 8 tahun lebih muda, rencananya Siska akan dikenalkan dengan seorang duda muda, kawan bisnis paman Adi. Namun mendengar kata duda, Siska dan ibunya sudah alergi duluan. “Memang aku gak laku banget apa? Sampai harus menikah dengan duda” demikian pikir Siska, yang diaminkan oleh ibunya.

Namun Siska lagi-lagi serba salah, ketika dalam perjumpaan-perjumpaan acara keluarga, semua sanak saudara menanyakan kondisinya yang masih lajang di usia tua. Pertanyaan pertanyaan meluncur seru, “mana nih calonnya..? kapan nih nyusul Ririn, Ririn yang lebih muda saja sudah mau menikah akhir bulan ini.. kamu kapan? wah, calonnya Siska disembunyikan terus nih, kapan dibawa..?” Siska hanya bisa tersenyum saja dan sesekali membalas, sementara ibu dengan wajah kurang enak berusaha untuk mengalihkan pembicaraan agar anak gadis semata wayangnya tidak terus dijadikan bulan-bulanan pertanyaan yang membuat Siska merasa risih.

Kasihan Siska, siapa sih yang tidak mau menikah, siapa sih wanita yang tidak mau punya suami, tidak mau punya anak, tidak mau berkeluarga, semua wanita sudah diciptakan dengan fitrahnya yaitu mencintai, dicintai, ingin dilindungi, merawat anak, bahkan dalam kandungannya pun sudah Allah titipkan Rahim, sehingga sifat penyayang sudah tertanam dalam dirinya untuk menyayangi anak-anak yang banyak dan juga suami yang diberikan oleh Allah. Namun kapan..? Kapan jodoh itu datang? Haruskah Siska menjomblo seumur hidup, seperti yang diungkapkan Sari, kawannya yang sudah menikah dan punya anak 3?

Siska haruslah introspeksi diri, jangan terlalu memilih dan mendahulukan keinginan untuk mendapatkan lelaki yang sempurna, lihatlah diri sendiri, bukankah juga masih bayak kekurangan yang dimilikinya. Tentulah lelaki manapun yang datang dan menghampirinya atau dikenalkan atau dijodohkan oleh kawan maupun sanak saudaranya memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing. Berdo’alah agar jiwa menjadi lebih tenang untuk dapat melunakkan hawa nafsu dan keinginan dalam mendapatkan suami dengan kriteria macam-macam, menjadi semacam saja dulu, yaitu lelaki yang soleh.

Cukuplah lelaki yang soleh dan baik imannya merupakan kriteria utama bagi para wanita yang ingin mendapatkan suami. Jangan terlalu banyak kriteria dan jangan terlalu banyak memilih, cukuplah dengan satu pilihan yaitu lelaki yang taat beragama, soleh dan mampu membimbingnya ke surga.

Rasulullah SAW bersabda:Dikatakan Abu Hatim Al Muzanni.ra., bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Apabila datang kepada kalian lelaki yang agama dan akhlaknya kalian ridhoi, maka nikahkanlah dia (dengan anak perempuan kalian). Jika kalian tidak melakukannya niscaya akan timbul fitnah dan kerusakan di bumi.

Dan firman Allah dalam Al Quran dalam surat Adz-Dzariyaat ayat 49, yang berbunyi:

“Dan segala sesuatu kami jadikan berpasang-pasangan, supaya kamu mengingat kebesaran Allah.” (QS. Adz-Dzariyaat [51] : 49)